Monday, May 15, 2023

 Menjadi ibu itu pekerjaan seumur hidup.

Anak di usia manapun itu akan selalu kita pikirkan. Saya punya tetangga, orang Jerman yang berusia 70 tahun. Setiap pagi dia bilang kalau ibunya yang sudah hidup di dunia ini 90 tahunan itu selalu menelepon dia dan bertanya, “Sudah makan belum?” Dan kadang tetangga saya ini gusar sampai menjawab, “Mom, i’m 70 years old, give me a break”😅


And I honestly think tak perlu ada istilah “full time mom” or “part time mom”, karena yang namanya ibu walaupun dia secara fisik tak sedang bersama anaknya karena bekerja atau beraktivitas lainnya tapi percayalah bahwa di benaknya kepikiran terus tentang si buah hati. Pengalaman saya adalah ketika pertama kalinya - setelah penantian 7 tahun - saya bisa keluar negeri sendiri tanpa buntut, ceritanya mau having me-time dengan menghadiri Ibnu Arabi Symposium di London selama 3 hari 2 malam. In the beginning, the thought of going out alone without kids sounds like an independence day celebration to me but i ended up scrolling down their pictures along the way and can’t wait to get back home🤷🏻‍♀️

It is what it is…


Tak ada institusi, kurikulum atau kelas khusus untuk menjadi seorang ibu yang pernah saya ikuti. Pendidikan formal yang ada cenderung menyamaratakan fungsi laki-laki dan perempuan. Apalagi setelah terjun ke dunia kerja, saya pun harus memberikan performance yang baik menghadapi kolega-kolega saya yang laki-laki. We were taught that man and women are equal. Well, i have nothing against that. But being mother is a wake up call that even though we’re equal, doesn’t necessarily we play the same role. 


Hanya perempuan yang hamil dan menyusui. Laki-laki tidak.

Hanya perempuan yang merasakan mual-mual di awal waktu pertumbuhan janin di dalam rahim. Laki-laki kadang ikut-ikutan, but it’s not the same thing.

Hanya perempuan yang meregang nyawa rasa sakit kontraksi rahim saat melahirkan. Laki-laki cuma bisa mengeluhkan betapa sakit tangan mereka saat diremas keras-keras oleh sang istri saat menemani dalam proses persalinan. Totally different kind of pain.

Dan rasanya kebanyakan perempuan yang kerap dibuat limbung oleh pilihan kembali bekerja setelah melahirkan atau merawat anak-anak. 


Ide menjadi ibu itu menyenangkan sekali. Sejak SMA saya sudah berorientasi mengurus anak-anak, makanya memilih jadi dokter dulu Dalam benak saya agar saya bisa kerja di rumah sambil ngurus anak-anak. As simple as that. Tapi yang saya tidak sadari adalah menjadi ibu berarti harus betul-betul kuat menahan mual saat hamil, sakit saat melahirkan, kurang tidur apalagi saat anak sakit, menjadikan karir bukan lagi prioritas - and that means i gotta let go lots of things, tidak sebebas dulu lagi karena terikat dengan anak - terutama kalau usia mereka masih kecil, cucian yang menumpuk setiap hari - and please note kalau kita-kita yang di luar negeri harus terbiasa bekerja tanpa keberadaan pembantu atau ART serta jauh dari keluarga yang bisa diminta tolong- besides tha, what so called by school vacations is not really vacations for mother, its simply an extrawork to do. 


So yes, jadi ibu itu melelahkan, makan ati, mesti sering menelan kesal dan duka. But also very rewarding. Melihat wajah mereka yang ceria juga ungkapan kasih sayang mereka baik verbal atau non verbal, keceriaan mereka sangat mencerahkan, pun selelah apapun kita hari itu tapi hati akan meleleh setiap kali melihat mereka tidur dengan nyenyak. In short, being a mother is the best life i’ve ever had.😍


No comments:

Post a Comment