Monday, January 18, 2021

 Murid:

Mengapa Tuhan menciptakan syaithan jika Dia ingin kita menjadi baik?
Bawa Muhaiyyaddeen:
Ini pertanyaan yang sangat bagus. Awalnya Tuhan menciptakan syaithan sebagai makhluk yang baik. Di alam langit, syaithan pernah menjadi pemimpin bagi kaum jin. Akan tetapi ketika Tuhan menciptakan Adam, seorang manusia, sebagai makhluk yang mulia, syaithan menjadi iri.
Adam diciptakan dari tanah dan syaithan diciptakan dari api. Karena itulah syaithan menjadi marah, dan saat ia murka maka ia berubah menjadi syaithan. Ia menjadi memiliki amarah, dengki dan perasaan dendam.
Awalnya amarah muncul, kemudian dengki dan lalu rasa ragu timbul dalam dirinya. Ia berpikir, "Aku diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah. Maka, bagaimana mungkin dia lebih baik sari diriku?"
Karena ia berpikir bahwa dirinya lebih baik dari manusia maka ia dipenuhi oleh rasa sombong dan menjadi sangat panas. Itulah ketika ia berubah menjadi syaithan.
Tuhan tidak menciptakan dia sebagai syaithan. Akan tetapi ketika sifat-sifatnya berubah maka Tuhan berfirman, "Kau adalah yang tersesat" dan mengusirnya dari surga ke neraka.
Sekarang engkau paham?
Tuhan tidak menciptakan syaithan dalam keadaan yang sekarang. Adalah syaithan yang mengubah dirinya sendiri.
Sifat-sifat buruk adalah syaithan. Jika ia melepaskan semua sifat-sifat buruknya, maka ia tidak lagi menjadi syaithan. Ia hanya menjadi makhluk jin.
Demikian pula manusia. Ketika mereka menampilkan sifat-sifat jahat, mereka juga menjadi syaithan. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki rasa ujub (bangga diri), amarah, dengki, keraguan, dendam kesumat, dusta, pengkhianatan, penipuan dan egois, maka mereka menjadi manusia.
(Why Can't I See the Angels- halaman 57)

 Jika engkau berdedikasi untuk melaksanakan tugasmu di dunia

engkau harus melakukannya dengan tanpa ikatan,
tanpa keberpihakan atau mengharapkan imbalan,
engkau harus melakukannya tanpa egoisme atau keinginan untuk meraih keuntungan.

Engkau harus mencintai semua kehidupan
dan memperlakukannya seperti kehidupanmu sendiri,
melihat kelaparan yang orang lain rasakan sebagai kelaparanmu,
menyadari kebahagiaan orang lain sebagai kebahagiaanmu,
kedamaian orang lain sebagai kedamaianmu,
kesenangan yang lain sebagai kesenanganmu.

Ketika seseorang melakukan tugasnya dengan cara seperti ini,
ia akan mengalami kesulitan dan sekian banyak tantangan.
(Karena) seseorang dalam tingkatan ini harus membakar dirinya untuk memberikan cahaya bagi yang lain.

Ia harus menjadi seperti lilin yang berpijar,
merelakan diri terbakar agar yang lain mendapatkan cahaya.
Itulah tugas mulianya.
Dalam keadaan ini kenyamanan macam apa yang sang lilin bisa rasakan?

Apa boleh buat.
Inilah keadaan orang yang mau menjalankan misi hidupnya untuk Tuhan,
ia harus merelakan dirinya terbakar untuk menyebarkan cahaya ke dunia sekelilingnya,
dan itulah hidupku.

- Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen, The Tree That Fell to the West