Tuesday, March 30, 2021

 Kalau seseorang kelihatan keras kepala, sombong dan bangga diri. Maka ia disuruh meminta-minta bantuan. Karena sesungguhnya semua sifat itu tidak akan hancur selain dengan sifat hina diri. Dan tiada kehinaan yang lebih besar dari kehinaan meminta-minta. Maka ia dipaksakan melakukan hal yang demikan beberapa lamanya. Sehingga hancurlah sifat kesombongan dan bangga dirinya.

- Al Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin

Thursday, March 11, 2021

 Kebahagiaan itu tidak tergantung dengan keadaan lahiriyah. Ia tidak mempersyaratkan kepemilikan atau pencapaian tertentu. Karena ia berupa sebuah cahaya damai yang ada di dalam lubuk hati. Sedemikian dalam ia hingga orang luar kadang tertipu dengan merasa seseorang dalam sebuah penderitaan tapi sebenarnya hati yang bersangkutan sudah berdamai dengan takdir hidupnya. Sebaliknya, tidak sedikit yang nampaknya berlimpah, mahsyur, banyak kemudahan dalam hidupnya tapi hatinya sepi dan kering, karena ia tidak bahagia.

Orang sering menyalah artikan "happiness" dengan "pleasure". Kebahagiaan di hati dengan kesenangan yang berasal dari obyek-obyek lahiriyah. Pun kebahagiaan yang dikejar dengan syarat-syarat tertentu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah padang pasir kehidupan.
Ada yang berpikir kalau hartanya berlimpah ia akan bahagia, tapi begitu pintu-pintu dunia dibukakan dia malah tidak tenang hatinya. Ada yang berpikir jika sudah menikah dan berkeluarga maka dia akan bahagia, begitu Allah mempertemukan dia dengan jodohnya kok terasa makin mumet dan ribut terus.
Ada yang berpikir kalau punya momongan kehidupan rumah tangga akan makiin harmonis dan jadi perekat yang baik antara suami istri. Tapi begitu anak lahir malah makin sering bertengkar, justru karena perbedaan pola pengasuhan anak.
Ada yang berpikir kalau punya pekerjaan dan karir yang bagus apalagi dengan gaji yang tinggi maka hidupnya bahagia. Tapi begitu ia di puncak karir ia tidak menemukan apa-apa disana malah bertambah jauh dari anak dan keluarga dan banyak kehilangan momen yang berharga dalam hidup.
Apa lantas tidak usah mengejar karir yang bagus? Tak perlu mencari jodoh - atau sekalian tidak menikah? Wah, ya tidak kesana kesimpulannya. Tapi poinnya adalah bahwa kita betul-betul harus mengubah definisi kita tentang kebahagiaan. Agar apapun yang kita miliki sekarang bisa disyukuri dan dinikmati. Agar kita bisa tersenyum menjalani takdir hari ini. Agar kita bisa bersuka cita dengan pembagian qadha dan qadar-Nya.
Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak jauh dari bumi tempat kedua belah telapak kaki kita berpijak. Tapi kita harus benar melihatnya, mata hatinya harus dipasang agar dapat melihat dimensi lain dalam kehidupan. Bahwa di balik mata yang sehat, jantung yang masih berdetak baik, paru-paru bisa mengembang baik dan bernafas dengan lega. Di balik tawa canda anak-anak, di balik pekerjaan dan aktivitas yang 'gitu-gitu' aja atau 'kurang sukses' kata orang itu tersimpan sebuah karunia yang berlimpah dari-Nya. Berhenti dengarkan kata orang, mulai dengarkan kata nurani, karena itu saluran Dia berkata-kata langsung dengan kita.
Syukuri apapun keadaan dan situasi kita saat ini apa adanya. Sungguh semuanya didatangkan dari Sang Maha Pencipta yang tak ada makhluk lain sanggup mengkreasi kehidupan ini. Langkah awalnya adalah dengan terima dulu. Lihat apa adanya tanpa membubuhi dengan prasangka dan dikotak-kotakkan dalam tibangan kurang-lebih, buruk-baik dsb. It is as it is. Allah Ta'ala hanya memberi yang terbaik. Tak pernah dia memberi takdir kualitas nomor dua. Sekarang perkara kita belum mampu melihat kebaikan yang Dia berikan, istighfari itu sambil sabar menanti pengajarannya. Dan rasakan betapa kita menjadi lebih ringan dan bahkan bersuka cita menjalani setiap hembusan kehidupan.