Thursday, July 4, 2019

MENGENAI PERCERAIAN
(Dari Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali)

Hendaklah diketahui bahwasanya perceraian itu mubah (boleh) tetapi perceraian adalah mubah yang paling dibenci oleh Allah Ta’ ala. Perceraian itu hanya mubah bila padanya tidak ada sesuatu yang menyakitkan dengan kebatalannya. Dan manakala ia menceraikannya maka ia menyakitinya. Dan tidak boleh menyakitinya kecuali karena tindakan yang berdosa dari pihaknya (istri) atau dengan darurat dari pihaknya (suami). Allah Ta’ ala berfirman:

“ Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”  (QS An Nisaa [4]: 34)

Jika ayahnya (laki-laki) membencinya (istri anaknya) maka hendaklah ia menceraikannya. Ibnu Umar ra berkata:

“ Di bawahku ada seorang istri yang saya cintai. Dan ayahku membencinya dan menyuruhku untuk menceraikannya. Lalu saya mengembalikan kepada Rasulullah, maka beliau bersabda: “ Hai Ibnu Umar, ceraikanlah istrimu!”
Ini menunjukkan bahwa hak orang tua itu didahulukan, tetapi ayah itu membencinya bukan karena maksud yang fasid (rusak) seperti Umar.

Manakala istri itu menyakiti suaminya dan berkata keji kepada keluarga laki-laki maka wanita itu berbuat dosa. Demikian juga manakala wanita itu buruk perangainya atau rusak agamanya. Ibnu Mas’ ud berkata mengenai firman Allah
Ta’ ala:

“ Janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (QS Ath Thalaq: 1)
Manakala ia berkata keji kepada keluarga laki-laki dan menyakiti suami maka itu perbuatan keji. Ini dimaksudkan dalam iddah, tetapi merupakan memperingatkan kepada maksud.

Jika tindakan yang menyakitkan itu dari suami maka wanita itu berhak untuk menebus dengan menyerahkan harta. Dan makruh bagi suami untuk mengabil dari wanita apa yang lebih banyak daripada apa yang telah diberikan karena itu berlawanan kepada wanita, membebani dan perdagangan atas kemaluan istri. Allah Ta’ala  berfirman:

“ Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” 
(QS Al Baqarah : 229)

Maka wanita itu mengembalikan apa yang telah diambilnya dan apa yang dibawahnya maka itu layak dengan tebusan. Jika wanita minta cerai tanpa ada sesuatu yang menyakitkan maka wanita itu berdosa.

Nabi saw bersabda:
“ Mana saja wanita meminta suaminya untuk mentalaknya tanpa sesuatu yang membahayakan maka ia tidak menghirup bau harum surga.”  (HR Abu Dawud)

Di dalam lafal lain:
“ Maka surga haram atasnya” 
Dan di dalam lafal lain bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“ Wanita-wanita yang berkhulu’ adalah wanita-wanita yang munafiq.”(HR An Nasa’ i)

Kemudian hendaklah suami memelihara empat hal di dalam mentalak, yaitu:

1. Mencerainya dalam keadaan suci yang belum disetubuhi, karena talaq di masa haid atau suci yang sudah disetubuhi itu bid’ I yang haram meskipun talaq itu jatuh karena di dalamnya terdapat pemanjangan iddah atas wanita. Jika ia melakukan hal itu maka hendaklah ia merujuknya.

Ibnu Umar mentalaq istrinya dalam masa haid. Lalu beliau Saw bersabda kepada Umar: “ Perintahkanlah kepadanya maka hendaklah ia merujuknya sehingga ia suci kemudian haid kemudian suci, lalu jika ia mau maka ia (baru) mentalaqnya dan jika ia mau maka ia menahannya. Itulah ‘ iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mentalaq istrinya.”  (HR Muttafaq ‘ alaih)

Beliau memerintahkan kepadanya untuk sabar dua kali suci setelah rujuk agar maksud rujuk itu tidak talaq saja.

2. Ia mencukupkan pada satu kali talaq maka ia tidak menghimpun antara tiga talaq karena talaq satu setelah iddah itu memberi faidah maksud dan ia dapat memanfaatkan rujuk jika ia menyesal dalam iddah. Dan memperbarui nikah jika ia menghendaki setelah iddah. Namun apabila ia mentalaq tiga, banyak kali ia menyesal lalu ia butuh kepada muhallil untuk memperistrinya dan butuh kesabaran sampai suatu waktu pada hal aqad muhallil itu dilarang. Dan menjadilah ia orang yang berusaha padanya. Kemudian hatinya tergantung dengan istri orang lain dan pentalakannya – say a maksudkan istri muhallif setelah muhallil itu kawin daripadanya. Kemudian hal itu menjadikan lari dari istri. Seluruhnya itu buah mengumpulkan (Talaq tiga). Dan dalam satu talaq itu cukup dalam maksud itu tanpa ada larangan. Dan saya tidak mengatakan bahwa mengumpulkan itu haram tetapi hal itu makruh dengan pengertian-pengertian ini. Dan saya maksudkan dengan makruh itu adalah ia meninggalkan tinjauan kepada talaq bagi dirinya.

3. Ia halus dalam mengemukakan alasan mencerainya, tanpa keras dan meremehkan. Dan ia baikkan hatinya dengan hadiah untuk menyenangkan dan menutup bagian sakitnya perpisahan yang mengejutkannya. Allah Ta’ ala berfirman:

“ Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ ah (pemberian) kepada mereka”  (QS Al Baqarah: 236)

Dan itu adalah wajib manakala ia tidak menyebut mas kawin pada asal nikah.

Talaq itu mubah. Allah telah menjanjikan kekayaan dalam perceraian dan pernikahan. Dia berfirman:

“ Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya” (QS An Nisaa: 130)

4. Ia tidak menyiarkan rahasia wanita baik dalam menceraikannya maupun dalam pernikahan. Dalam menyiarkan rahasia wanita terdapat ancaman besar.

(“ Sesungguhnya sebesar-besar amanat di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang menyentuh istrinya dan istrinya menyentuhnya kemudian laki-laki itu menyiarkan rahasianya.” – HR Muslim) `

Thursday, May 16, 2019

Manusia tidak pernah terhindar dari bahagia dan sengsara.
Ketika kebaikan dan keikhlasan si hamba lebih banyak, maka kesengsaraannya akan berubah arah menuju kebahagiaan.


  • Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Kitab Sirrul Asrar.

Tuesday, February 19, 2019

Ketika Jibril as Gusar



Pada suatu hari Jibril as diperintahkan untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah Muhammad saw. Allah berfirman, “Sampaikanlah kepada Muhammad salam-Ku. Tolong sampaikan kepadanya cinta-Ku.” Allah berfirman seperti ini kemudian menyampaikan suatu ayat kepada Jibril as.

Maka datanglah Jibril as ke kediaman Muhammad saw, akan tetapi saat itu beliau sedang pergi dan putrinya Fatimah ra tengah ada di depan pintu.

“Assalaamu’alaikum,”ujar Fatimah.
“Fatimah, dimanakah Rasulullah?”
“Beliau sedang pergi. Assalaamualaikum. Silakan masuk wahai paman, adik lelaki dari ayahku. Silakan duduk.”

Jibril as nampak gusar. Ia hanya pergi disana tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Setelah sekian lama waktu berlalu Fatimah kembali berkata, “Wahai adik lelaki ayahku, yang aku telah katakan (salam) adalah pujian untuk Allah. Aku mengucapkan rahmat dan salam dari Allah, akan tetapi engkau sama sekali tidak membalasku. Aku tidak marah, tapi engkau tidak membalas salamku. Itu adalah tanggungjawabmu. Ketika engkau tidak membalas salam, sesuatu yang merupakan kalimat dari-Nya engkau sungguh menjadi memiliki hutang yang besar.”

Jibril as lantas menjawab, “Alaikumussalam, alaikumussalam, Fatimah.”

“Mengapa engkau gusar kepadaku?”

“Tidak ada kaitannya secara pribadi denganmu. Akan tetapi usia ayahmu belumlah begitu tua. Beliau (saat itu) hanya berusia 50 atau 52 tahun. Sedangkan berapa tahun usiaku! Aku telah membawakan wahyu kepada 124.000 rasul. Akan tetapi engkau memanggilku adik lelaki ayahmu. Itu hal yang tak masuk akal bagiku. Itu yang sedang aku pikirkan sementara aku berdiri disini.”

“Apakah demikian adanya? Sungguh aku tidak mengetahui hal ini.” Jawab Fatimah.

Sesungguhnya Allah Ta’ala tengah menghancurkan rasa bangga yang ada dalam diri sang Jibril as, maka Allah menyelipkan kalimat itu ke dalam lisan seorang Fatimah ra, dan membuatnya berkata demikian.

Tak berapa lama kemudian Rasulullah Muhammad saw datang, lalu Fatimah bercerita tentang apa yang telah terjadi dengan Jibril as.

“Benarkah demikian, wahai Jibril? Karena engkau berkata bahwa dirimu adalah lebih tua dari aku, maka katakanlah hal yang paling menakjubkan di alam semesta yang  pernah engkau saksikan sebelum aku dilahirkan.”

“Ya, aku pernah menyaksikan sebuah hal yang paling menakjubkan di alam ini.”

“Apakah itu?”

“Ada sebuah bintang yang bersinar dari arah baratlaut. Rembulan juga ada disana. Bintang itu tampak menyala selama 70.000 tahun, kemudian menghilang selama 70.000 tahun, akan tetapi bersinar kembali selama 70.000 tahun. Aku pernah menyaksikan terbitnya bintang ini selama 70.000 kali. Sungguh aku pernah menyaksikannya.”

“Benarkah demikian? Apakah engkau melihat bintang itu sekarang?”

“Aku tidak melihatnya saat ini.”

“Jika engkau melihatnya apakah engkau bisa mengatakan apakah itu bintang yang sama yang telah engkau lihat?”

“Ya tentu, aku bisa.”

Kemudian Rasulullah saw melepaskan turbannya dan memperlihatkan kepada Jibril as bagian atas dari kepalanya yang mulia. Dimana bintang itu ada disana bercahaya dengan sangat terang. Jibril as memeluknya sambil menangis saat melihat hal  itu.

“Mengapa engkau menangis? Apakah karena bintang ini? Apakah ini bintang yang kau maksud?”

“Iya…iya..itulah bintangnya.”

(Dikutip dari “Asma’ul Husna the 99 Beautiful Names of Allah”, M.R. Bawa Muhaiyaddeen)

Thursday, February 14, 2019

Pertimbangkanlah didalam apa-apa yang dirimu bersandar kepadanya: karena ia akan menjadi pendampingmu di alam kuburmu.


  • Imam An Niffari

Wednesday, January 23, 2019

“Berlindunglah kepada-Ku di setiap keadaan, dan Aku akan menjadi milikmu di setiap keadaan.”

- An Niffari dalam kitab Al Mawaqif

Tuesday, January 15, 2019

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri, perasaan tidak berdaya, selalu bersandar hatinya kepada Allah Ta’ala dan terus-menerus merasa butuh kepada-Nya. Ia memeriksa aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya dan kezalimannya. Di samping itu, ia menyaksikan dan menyadari betapa luas karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, dan kebaikan Rabbnya serta kekayaan dan keterpujian diri-Nya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar mengenal (Allah) akan meniti jalannya menuju kepada Allah di antara kedua sayap (sikap) ini. Dia tidak mungkin meniti jalan hidupnya (dengan baik) kecuali dengan keduanya. Ketika salah satu dari kedua belah sayap itu hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya”

(Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah  dalam kitab Al-Wabilush Shayyib)

Monday, January 7, 2019

Dia menempatkanku dalam perhentian Kemuliaan, dan berkata kepadaku,

“Ambil apa yang engkau butuhkan untuk memusatkan dirimu kepada-Ku, atau Aku akan mengembalikanmu kepada kebutuhanmu dan memisahkan dirimu dari Aku.”

- Imam An Niffari, Kitab Al Mawaaqif