Sunday, August 8, 2021

 God is doing things all the time and not all of them are the things we like, some of them are things we don’t like. There are so many injustice and all that.

But I love God, I know that Allah has a reason for doing all these things and why these things happened. And therefore there is no place for me to complain about how the Beloved are doing something.
- Eric Winkel
=====
Allah selalu dalam kesibukan setiap saat dan tidak semua hal yang Dia lakukan kita sukai, sebagian darinya malah kita tidak sukai. Kita melihat misalkan banyak fenomena ketidakadilan dan hal semacam itu.
Tapi saya mencintai Allah, saya tahu bahwa Allah memiliki alasan ketika melakukan itu semua dan mengapa Dia mengizinkan semua hal itu terjadi. Oleh karenanya tidak sepatutnya saya mengeluhkan semua tindakan dari Sang Kekasih itu.

 When you cannot see bad things and all you see is good things.

That's what we called by true love.
- Eric Winkel

 Umar bin Khaththab r.a. akan selalu berucap "alhamdulillah" sekalipun jika sesuatu hal yang buruk menimpa dirinya. Kenapa demikian? Umar berkata bahwa di dalam semua hal yang menimpa dirinya ia akan selalu melihat tiga hal:

Pertama, ia bersyukur bahwa apa yang menimpanya tidak lebih buruk atau lebih parah.
Kedua, ia bersyukur bahwa apapun yang menimpanya tidak membawanya keluar dari diin (agama) Islam.
Ketiga, di balik semua hal yang terjadi pada dirinya ada nilainya di akhirat nanti. Ia seperti membersihkan cermin hati untuk kehidupan selanjutnya.
Mengenai hal ini Ibnu Arabi berkata bahwa dzikir "alhamdulillah" tidak diucapkan ketika hal yang buruk terjadi. Kita berucap alhamdulillah ketika sebuah kebaikan menimpa diri. Akan tetapi bagi orang seperti Umar ia mengucap alhamdulillah di setiap keadaan karena di balik satu kejadian buruk yang menimpanya tersimpan tiga kebaikan baginya. Ibnu arabi menambahkan bahwa setiap kali engkau melihat hal seperti hukuman atau siksaan, ketahuilah bahwa bagi setiap satu keburukan akan ada satu konsekuensi atau hukuman, akan tetapi bagi satu kebaikan tersedia 7, 70 hingga 70.000 kebaikan sebagai bagian dari rahmat Allah Ta'ala.
(Terjemahan dari penuturan Eric Winkel, 29 Juli 2021)

 TESSA: Eric, mari kita bicara tentang kebahagiaan. Banyak orang terpeleset mengartikan kebahagiaan dengan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya atau pangkat setinggi-tingginya tapi tak ada satupun dari hal itu yang akan kita bawa ke alam sana setelah kematian

ERIC: Iya, kebanyakan manusia akan sibuk berlari kesana kemari dalam rangka mencari obyek-obyek kebahagiaan, sesuatu yang mereka kira akan mendatangkan bahagia. Mereka pikir jika bisa meraih ini dan itu akan membuatnya bahagia. Tapi itu semua tak akan pernah terjadi.
Itu sebabnya Allah mengimkan sekian banyak utusan dan petunjuk dalam kehidupan, untuk membimbing kita bahwa sejatinya kebahagiaan yang sejatinya kita cari itu sumbernya adalah Allah Ta'ala. Dan petunjuk itu akan menunjukkan dimana Allah berada, kepada jalan yang makin mendekatkan kepada-Nya.
Manusia memang niscaya akan dihadapkan dengan kesulitan dan kegagalan dalam upayanya mencari kebahagiaan. Hingga akhirnya mereka menyerah dan berkata, "Aku telah mencoba dengan berbagai cara tapi aku tak bisa mendapatkannya!" Di saat itulah petunjuk dari para utusan akan mulai terdengar dan terbaca. Sang utusan akan berkata, "Dengarkan baik-baik, apa yang kau cari selama ini adalah Dia Yang Maha Kuasa. Dan inilah jalan untuk menemukan-Nya."
Kebahagiaan dalam arti hidup nyaman menurut waham kebanyakan orang bukanlah jawabannya. Saya mulai menyadari hal itu ketika saat remaja saya bepergian ke India bagian selatan. Disana banyak orang yang hidupnya susah dan prihatin, setiap hari harus bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti mendapatkan tempat berteduh dan memiliki makanan di hari itu. Tapi ironinya saya melihat di barat orang kebanyakan memiliki apa yang mereka butuhkan untuk hidup, bahkan lebih dari cukup tapi justru muncul perilaku bunuh diri dan kebiasaan yang berbahaya seperti meminum minuman keras dan menggunakan narkoba. Sepertinya orang malah akan cenderung melakukan hal yang gila manakala hidup terlalu mudah bagi mereka. Ketika manusia memiliki semua apa yang ia inginkan di saat yang sama ada perasaan yang tak pernah terpuaskan oleh itu semua dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang penuh sensasi untuk bisa merasakan 'hidup'.
Yang saya pahami sebenarnya adalah bahwa setiap orang ingin mencintai dan dicintai. Dan Ibnu Arabi mengatakan apa yang kita cintai sebenarnya Allah. Itu yang menjelaskan kenapa dahaga kita tak akan pernah bisa terpuaskan oleh apapun. Karena Dia tak terbatas. Seorang sufi, Abu Yazid al-Bisthami berkata, "Seorang yang mencintai Allah itu bagaikan meminum seluruh air samudera dan setelah itu ia masih merasa kehausan. Ia tak akan pernah terpuaskan!"
Maka jika engkau merasakan sebuah rasa sepi, kerinduan, dan dahaga yang tak terpuaskan saat kau mengais-ais kebahagiaan, ketahuilah bahwa hatimu sebenarnya tengah mencari Allah dan pencarian kepada-Nya tak pernah usai...
(Adaptasi dan terjemahan dari bincang bersama Eric Winkel, 29 Juli 2021)

 Suatu hari nanti, semua orang akan meninggalkan kita sendirian di liang lahat. Maka jika kita terbiasa berlatih menyendiri sejak saat ini, kelak kita akan lebih mudah menjalani hal itu. Nanti ketika semua pergi, kita bisa berkata “Aku terbiasa sendiri dahulu, dan sekarang pun aku sendiri. Tak ada alasan untuk menjadi sengsara!”

Akan tetapi jika kita terbiasa tergantung kepada manusia dimanapun kita berada, maka kita akan berduka saat kita ke alam barzakh dan menangis, “Dimana anakku? Dimana orang tuaku? Dimana suamiku? Dimana istriku?” Kita akan berkeliling mencari-cari mereka dan akan mengalami kesulitan berada di alam sana.
Oleh karenanya, biasakan hidup mandiri tanpa tergantung oleh siapapun. Berlatihlah sejak sekarang demi menjelang kehidupan yang pasti akan datang. Itu adalah baik untukmu.
- Adaptasi dan terjemahan dari tausiyah Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen dalam “The Fast of Ramadan” hal. 169

 Tak seorang pun boleh menggunakan takdir sebagai dalih untuk meninggalkan usaha, kerja keras, dan amal baik.


Kau tak boleh berkata, “Jika aku memang ditakdirkan menjadi orang baik, tak perlu aku bersusah payah mengerjakan kebaikan, toh aku telah dirahmati.” Atau, “Jika aku telah ditakdirkan menjadi orang jahat, apa gunanya berbuat baik?” Pandangan seperti itu jelas-jelas sesat. Tak patut kau berkata, “Jika keadaanku telah ditetapkan di masa lalu, apa untung-ruginya aku berharap pada perbuatanku saat ini?”

Perbedaan sikap mengenai takdir ini tergambar pada perbedaan antara Adam a.s. manusia dan nabi pertama, dan Iblis. Iblis menisbatkan kemaksiatannya kepada takdir. Ia menjadi kafir sehingga terusir dari rahmat dan hadirat Allah. Sebaliknya, Adam a.s. mengakui kesalahan dirinya, dan sebagai bentuk tanggung jawabnya, ia memohon ampunan, menerima rahmat Allah dan akhirnya mendapat keselamatan.

- Syaikh Abdul Qadir Jailani