Dunia adalah hijab bagi akhirat,
akhirat adalah hijab terhadap Penguasa dunia dan akhirat, dan setiap makhluk
adalah hijab terhadap Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Ketika engkau
bersama-Nya, maka Dia pun adalah ‘hijab’ bagi dirimu. Dengan itu, engkau tidak
akan mengalihkan pandangan kepada makhluk, tidak juga pada dunia, dan tidak
pula pada apapun selain Allah Azza wa Jalla, hingga engkau sampai di pintu-Nya
dengan kaki-kaki batinmu dan kezuhudanmu yang benar terhadap apa-apa selain
Diri-Nya; dengan senantiasa mengosongkan diri dari segala sesuatu, senantiasa
berharap kepada-Nya, senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya, dan senantiasa
memperhatikan masa lalu dan ilmunya. Oleh karena itu, apabila hati dan nuranimu
benar-benar telah sampai kepada-Nya, juga kedekatanmu kepada-Nya, kerendahan
hatimu di hadapan-Nya, rasa malumu terhadap-Nya, penguasaan dan pengurusanmu
atas hatimu, serta menjadikanmu tabib atasnya, maka pada saat engkau berpaling
kepada makhluk dan dunia, keberpalinganmu itu merupakan nikmat bagi mereka.
Pengambilan bagianmu terhadap dunia dari tangan mereka dan pengembaliannya
kepada orang-orang fakir, serta penerimaanmu darinya demi bagianmu, adalah
ibadah, ketaatan, dan keselamatan. Barangsiapa yang mengambil dunia dengan
sifat ini, dunia tidak akan mencelakakannya; bahkan ia akan selamat darinya.
Kewalian memiliki tanda pada
wajah-wajah para wali, yang dikenal oleh para ahli firasat. Isyarat-isyarat itu
dikemukakan dengan kewalian, bukan dengan lisan. Barangsiapa yang menghendaki
kebahagiaan, dia mesti mengorbankan diri dan hartanya semata-mata untuk Alllah
Azza wa Jalla; mengeluarkan makhluk dan dunia dari dalam hatinya seperti
keluarnya rambut dari dalam adonan dan susu; demikian juga dari segala sesuatu
selain Allah. Jika demikian halnya,
akan diberikan hak orang yang memang memiliki haknya. Di hadapan-Nya engkau
makan bagianmu dari dunia dan akhirat. Engkau ada di depan pintu-Nya dan
berdiri tegak melayani.
Janganlah memakan bagianmu di dunia, selagi dunia menjadi landasan dan kau
berdiri di atasnya. Akan tetapi, makanlah bagianmu di dunia di hadapan pintu
Penguasa, selagi engkau duduk dan dunia berdiri.
Layanilah orang yang berdiri di depan pintu Allah Azza wa Jalla dan
hinakanlah siapa saja yang berdiri di idepan pintu dunia. Segala sesuatu yang
merupakan bagian dunia ada di bawah kaki kekayaan dan kemuliaan Allah Azza wa
Jalla.
Kaum muslim senantiasa ridha kepada Allah atas kesempitannya di dunia dan
ridha pula kepada-Nya di akhirat untuk berdekatan dengan-Nya. Mereka tidak
mencari sesuatu dari Allah selain Diri-Nya. Mereka tahu bahwa dunia telah
dibagi-bagi, sehingga mereka pun meninggalkan tuntutan atasnya dan beramal demi
meraihnya. Tidak ada yang mereka kehendaki selain wajah Allah Azza wa Jalla.
Seandainya mereka masuk surga, mereka tidak membuka mata mereka hingga melihat
cahaya wajah Allah. Kesendirian dan kesunyian yang paling disukai adalah
tatkala seseorang yang hatinya kosong dari makhluk dan sebab-sebab. Seseorang
tidak akan menempuh jalan para nabi, para shiddiqqiin,
dan orang-orang shalih hingga dia merasa puas dengan kemudahan di dunia dan
bersikap pasrah atas apa pun yang telah ditakdirkan. Hendaklah engkau tidak
mencari sesuatu yang banyak, sebab sesungguhnya engkau bisa celaka. Apabila
datang kepadamu sesuatu yang banyak dari Allah di luar pilihanmu sendiri,
berarti engkau benar-benar telah dipelihara di dalam perkara tersebut.
Hasan al Bashri r.a. pernah bertutur, “Hendaklah engkau menasihati manusia
dengan ilmu dan tutur katamu. Kepada orang yang sering memberi nasihat,
hendaklah menasihati manusia dengan kebeningan batin dan ketakwaanmu. Janganlah
menasihati mereka dengan cara memperbagus penampilanmu tetpi diikuti dengan
keburukan batinmu.”
Allah Azza wa Jalla telah menetapkan keimanan di dalam hati kaum Mukmin
sebelum Dia menciptakan mereka. Ini adalah masa lalu. Kita tidak boleh terpaku
pada masa lalu dan bersikap tawakal terhadap masa lalu. Akan tetapi kita mesti
bersungguh-sungguh, berusaha dan mengerahkan sikap zuhud, bersungguh-sungguh
dalam menghasilkan keimanan dan keyakinan; emnetapi anugerah Allah Azza wa
Jalla, dan senantiasa melazimkan duduk bersimpuh di pintu-Nya. Dengan demikian,
hati kita senantiasa bersungguh-sungguh di dalam menggapai keimanan, sehingga
mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menganugerahkan sesuatu kepada kita tanpa
harus kerja keras dan mengalami keletihan. Dia tidak meluaskan bagi kalian apa
yang dulu pernah Dia luaskan bagi orang yang mendahului kalian, yakni para
sahabat dan para taabi’in. Allah Azza
wa Jalla, Tuhan kita, berada di atas ‘Arsy, sebagaimana difirmankan-Nya tanpa
ada penyerupaan dan tanpa mengidentikkannya dengan jasad fisik.
Ya Allah, limpahkanlah kami
rezeki, berilah kami taufik, dan jauhkanlah kami dari bid’ah. Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kami kebajikan di dunia dan akhirat, serta lindungilah kami dari
siksa api neraka.[]
(Syaikh Abdul Qadir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi )
No comments:
Post a Comment