Friday, August 3, 2012

Tabir Cahaya dan Kegelapan

Allah berfirman, “Siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta.” (QS Al Israa’ [17]: 72). Buta yang dimaksudkan bukanlah buta mata, melainkan buta hati sehingga seseorang tidak bisa melihat cahaya akhirat. Allah SWT berfirman, “…sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]: 46). Satu-satunya penyebab kebutaan hati adalah kelalaian, lupa akan kewajiban, tujuan dan janjinya kepada Allah ketika ia hidup di dunia. Penyebab kelalaian adalah kebodohan terhadap hukum dan perintah Tuhan. Kebodohan ini disebabkan oleh kegelapan yang menghalanginya dari dunia luar dan membelenggu batinnya. Di antara sifat yang menggelapkan hati adalah keangkuhan, kesombongan, iri, khianat, dendam, dusta, suka menggunjing, mengumpat dan berbagai sifat buruk lainnya. Sifat-sifat inilah yang akan menjungkirkan manusia dari makhluk yang paling mulia menjadi makhluk yang paling hina. Sifat-sifat buruk ini dapat dihilangkan dengan menyucikan dan menerangi hati. Penyucian dilakukan dengan mencari dan mengamalkan ilmu, disertai tekad dan upaya yang kuat. Selain itu, dia harus memerangi nafsu di dalam maupun di luar diri dengan menjauhi realitas yang serbaneka untuk menyatu dengan tauhid. Jika perjuangan ini dilakukan tanpa henti, niscaya hati menjadi hidup diterangi cahaya tauhid. Dan jika hati telah diterangi cahaya tauhid, ia akan melihat hakikat sifat-sifat Allah di sekitar dan di dalam dirinya. Barulah setelah itu kau akan mengingat tanah air sejati tempat asalmu. Kau akan diliputi kerinduan untuk kembali ke sana, dan ketika saatnya tiba, dengan pertolongan Allah SWT, ruh suci dalam dirimu akan menyatu dengan-Nya. Ketika kegelapan sirna, cahaya datang menggantikannya sehingga orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hakikat. Ia memahami segala yang dilihatnya dengan cahaya nama-nama dan sifat Ilahi. Ia akan diliputi cahaya, dan akhirnya menjadi cahaya. Kendati demikian, cahaya masih menjadi tabir yang menutupi cahaya zat Ilahi hingga cahaya itu sirna dan yang tersisa hanya cahaya zat Ilahi. Hati memiliki dua mata, yang kecil dan yang besar. Dengan mata hati yang kecil manusia dapat melihat manifestasi sifat-sifat dan nama-nama Allah. Ia akan melihatnya sepanjang perkembangan ruhani manusia. Mata yang lebih besar hanya dapat melihat melalui cahaya tauhid dan keesaan. Mata itu akan dapat melihat jika seseorang telah mencapai wilayah kedekatan kepada Allah. Ia akan melihat di alam tertinggi manifestasi zat Allah, keesaan yang mutlak. Semua tingkatan ruhani yang tinggi ini dapat dicapai dalam kehidupan di dunia ini jika kau telah menyucikan dirimu dari sifat-sifat duniawi, termasuk sifat mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu. Keberhasilanmu menaiki jenjang-jenjang ruhani itu bergantung pada sebesar apa usahamu untuk menjauhkan diri dari sifat duniawi dan dari nafsumu. Pencapaian tujuan yang kau dambakan itu tidaklah seperti datangnya sesuatu atau seseorang di suatu tempat. Pencapaian itu pun tidak seperti peralihan dari tidak tahu menjadi tahu; tidak seperti akal yang berhasil memahami suatu obyek pemikiran; tidak pula seperti khayalan yang menyatu dengan harapan. Tujuan itu tercapai ketika kau hampa dari segala sesuatu kecuali zat Allah. Pencapaian ini merupakan proses yang terus menerus terjadi. Tak ada jarak, tak ada kedekatan maupun kejauhan, tak ada pencapaian, tak ada ukuran, tak ada arah dan tak ada dimensi. Dia Mahabesar, segala puji bagi-Nya. Dia Mahapenyayang. Dia terlihat pada apa yang disembunyikan-Nya darimu. Dia memanifestasikan diri-Nya ketika Dia letakkan tabir antara diri-Nya dan dirimu. Pengenalan kepada-Nya tersembunyi dalam kerahasiaan-Nya. Siapa saja di antara kalian yang mencapai cahaya yang dilukiskan dalam buku ini di kehidupan dunia, pertimbangkanlah catatan amalmu. Dengan cahaya itu kau dapat melihat segala sesuatu yang telah kau kerjakan. Karena itu, perhitungkanlah dan timbanglah. Kelak, di hari kiamat, kau harus membaca catatan amalmu di hadapan Tuhan. Itu merupakan titik akhir. Setelah itu, tak ada lagi peluang untuk menimbang amalmu. Jika kau menimbangnya di sini, kau masih punya waktu, kau akan termasuk ke dalam golongan orang yang selamat. Jika tidak, penderitaan dan bencana akan menjadi nasibmu di dunia ini dan di akhirat kelak. Kehidupan ini akan berakhir. Di depan kita telah menunggu azab kubur, kiamat, dan timbangan amal. Kita juga akan menghadapi jembatan ujian, yang lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang. Di ujung jembatan itu ada surga, di bawahnya ada neraka beserta segala bentuk penderitaannya yang abadi. Itulah realitas yang harus dihadapi manusia ketika kehidupan yang fana ini berakhir. [] (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

No comments:

Post a Comment