Friday, August 3, 2012
Sufi Para Pejalan di Jalan Tuhan
Istilah shufi berasal dari kata Arab “shaf” yang berarti suci. Kaum sufi diberi gelar ini karena alam batin mereka disucikan dan diterangi oleh cahaya ilmu, tauhid, dan keesaan. Dalam pengertian lain, mereka disebut sufi karena secara ruhani mereka dekat dengan para sahabat Rasulullah yang disebut “Ahlu Shufah” (Ahlu Shufah juga sering dimaknai sebagai para penghuni serambi. Sebutan ini merujuk kepada para sahabat Nabi saw. yang tinggal di serambi Mesjib Nabawi. Mereka adalah para sahabat yang fakir dan selalu beribadah kepada Allah- pen) – yang berbaju kasar terbuat dari bulu domba. Bahkan, mereka sendiri mungkin selalu mengenakan pakaian kasar dan murah yang terbuat dari bulu domba (shuuf) dan banyak pula dari mereka yang selalu mengenakan pakaian usang penuh tambalan.
Seperti penampilan lahir mereka yang miskin dan hina, begitu pula kehidupan duniawi mereka. Mereka sangat bersahaja dalam makan, minum dan kesenangan duniawi lainnya. Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yang bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia. Namun, pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yang sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mngikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mereka berada di garis terdepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampilan lahiriah, mereka adalah orang-orang yang menawan hati. Mereka memiliki ciri yang sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yang sesungguhnya.
Dalam bahasa Arab, kata tashawwuf, terdiri atas empat huruf, t, sh, w, dan f. Huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawbah, tobat. Inilah langkah pertama yang harus ditempuh di jalan ruhani, yang meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan dan perasaan. Secara lahiriah, orang yang bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat – yang merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya – akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua.
Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafaa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya.
Ketentraman datang dari hati yang bebas dari kecemasan. Kecemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia – makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yang sangat berat dan melelahkan. Perjuangan itu menjadi semakin berat karena ada ikatan lain yang membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak.
Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah. Pada awalnya, zikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, zikir berlangsung dalam hati dan menjadi bagian batin; yang tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) (QS AL Anfaal [8]: 2)
Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berzikir menyebut asma Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam ghaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw. bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.”
Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan dipersiapkan untuk hanya menerima zat Allah, yang akan memasukinya jika ia telah dihiasi oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan zikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yang disimbolkan oleh huruf sh menjadi sempurna.
Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkat kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung kepada kesucian batin. Dalam kitab suci Alquran disebutkan bahwa para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, dan bahwa bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan (di kehidupan) akhirat… (QS Yunus [10]: 62 , 64).
Orang yang telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yang sopan dan kepribadian yang hangat. Inilah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yang fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi matanya, telinganya, lidahnya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku dan dia berjalan bersama Aku.
Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab:
Katakanlah olehmu (Hai Muhammad), telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa. (QS AL Israa [17]: 81)
Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna.
Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yang batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan.
Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada, tak pernah hilang ataupun surut. Pemusnahan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan zat yang telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridhaan-Nya: wujud manusia yang fana menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yang kekal: Segala sesuatu musnah kecuali zat-Nya…(QS Al Qashash [28]: 88)
Hakikat-Nya dikenali melalui keridhaan-Nya. Jika kau melakukan sesuatu karena Dia dan diridhai-Nya, berarti kau telah mendekati hakikat-Nya, zat-Nya. Setelah itu, semuanya musnah kecuali Yang Esa; Dia menyatu dengan orang yang diridhai-Nya. Amal saleh adalah ibu yang melahirkan hakikat, yaitu jiwa sejati yang kembali. Alalh berfirman, Kepada-Nya naik perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkannya (QS Fathiir [35]: 10). Jika seseorang berbuat karena segala sesuatu selain Allah, berarti dia telah menyekutukan Allah. Sebab, ia telah menempatkan seseorang atau yang lainnya di tempat Allah. Menyekutukan Dia adalah dosa yang tak terampuni yang lambat laun akan membinasakan dirinya. Namun, jika diri dan keakuan sirna, ia akan mencapai tingkat kebersatuan dengan Allah, yang dicapai di alam kedekatan kepada-Nya; alam yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang yang bertakwa itu…di tempat yang disenangi, di sisi Tuhan Yang Mahakuasa (QS Al Qamar [54]: 54-55)
Alam itu adalah alam hakikat sejati; hakikat segala hakikat; tempat keesaan dan ketunggalan. Itulah alam yang disediakan untuk para nabi, orang yang dicintai Allah dan para kekasih-Nya. Allah bersama orang-orang yang benar. Ketika eksistensi ciptaan menyatu dengan eksistensi yang kekal, eksistensi keduanya menjadi tak terpisahkan. Ketika seseorang telah melepaskan dirinya dari semua ikatan duniawi untuk bersama Allah, niscaya ia akan menerima kesucian yang kekal, yang tak pernah ternodai, dan menjadi salah seorang penghuni surga, mereka kekal di dalamnya (QS Al A’raaf [7]: 42) Mereka adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (QS Al A’raaf [7]: 42). Namun, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya (QS Al A’raaf [7]: 42). Untuk bisa mencapai tingkat penyatuan seperti itu, dibutuhkan kesabaran dan ketabahan, karena Allah bersama orang-orang yang sabar (QS Al Anfaal [8]: 66)
(Syaikh Abdul Qadir Jailani)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment