Friday, August 3, 2012
Kebahagiaan dan Penderitaan
Ketahuilah, manusia terbagi ke dalam dua golongan: pertama, mereka yang tenteram, senang dan bahagia, yang beramal saleh karena taat kepada Allah; kedua, mereka yang ketakutan, ragu dan menderita karena bermaksiat kepada Allah. Manusia memiliki potensi untuk taat maupun untuk bermaksiat. Jika keikhlasan, ketulusan, dan kebaikan mendominasi seseorang, niscaya keangkuhannya berubah menjadi kelembutan dan sisi buruk ditaklukkan oleh sisi baiknya. Sebaliknya, jika hawa nafsu mendominasi maka kemaksiatan akan mengalahkan kesucian dan ketaatan sehingga ia gemar bermaksiat. Jika kedua sifat yang saling bertentang ini sama kuat, ia boleh berharap bahwa kebaikan akan menang, seperti yang dijanjikan oleh Allah: Barangsiapa membawa amal yang baik, baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya… (QS Al An’aam [8]: 160). Dan jika Allah menghendaki, Dia akan melipatgandakan karunia-Nya.
Namun, jika antara kebaikan dan dosa seimbang, seseorang harus melewati ujian yang berat di hari kiamat. Berbeda halnya dengan orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya, sebab ia tidak akan dihadang ujian; tak ada perhitungan atas dirinya. Ia akan masuk surga tanpa melalui kengerian hari kiamat.
Dan adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan (QS AL Qaari’ah [101]: 6-7).
Orang yang timbangan dosanya lebih berat daripada amal baiknya, niscaya akan menghadapi azab yang setimpal. Lalu ia akan dilemparkan ke dalam kobaran api neraka dan, jika ia memiliki iman, ia akan masuk surga.
Pertentangan antara ketaatan dan kemaksiatan adalah pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Keduanya ada dalam diri manusia meskipun keadaan keduanya berubah-ubah. Kebaikan dapat berubah menjadi kejahatan dan kejahatan dapat menjadi kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kebaikannya mengalahkan kejahatannya akan mendapatkan keselamatan, ketenteraman dan kebahagiaan, sedangkan orang yang kejahatannya lebih banyak daripada kebaikannya, ia akan berbuat maksiat dan menjadi orang yang jahat; orang yang mengakui kesalahannya, bertobat dan mengubah jalan hidupnya, niscaya kemaksiatannya akan diubah menjadi ketaatan dan ibadah.”
Ketahuilah, Allah telah menetapkan bahwa kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan mukmin yang taat, dan penderitaan para pelaku maksiat merupakan keadaan bawaan manusia. Keduanya merupakan daya potensial dalam diri manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang beruntung menjadi orang baik telah ditetapkan menjadi orang yang baik ketika ia masih di rahim ibunya, dan orang yang jahat telah ditakdirkan menjadi jahat sejak ia berada dalam rahim ibunya.” Itulah keadaannya, dan tak seorangpun berhak membahas persoalan ini. Ketetapan Allah bukanlah obyek pemikiran yang harus dibahas. Orang yang tergoda untuk membahasnya akan terjerumus ke dalam kemurtadan dan kekafiran.
Selain itu, tak seorang pun boleh menggunakan takdir sebagai dalih untuk meninggalkan usaha, kerja keras, dan amal baik. Kau tak boleh berkata, “Jika aku memang ditakdirkan menjadi orang baik, tak perlu aku bersusah payah mengerjakan kebaikan, toh aku telah dirahmati.” Atau, “Jika aku telah ditakdirkan menjadi orang jahat, apa gunanya berbuat baik?” Pandangan seperti itu jelas-jelas sesat. Tak patut kau berkata, “Jika keadaanku telah ditetapkan di masa lalu, apa untung-ruginya aku berharap pada perbuatanku saat ini?” Perbedaan sikap mengenai takdir ini tergambar pada perbedaan antara Adam a.s. manusia dan nabi pertama, dan Iblis. Iblis menisbatkan kemaksiatannya kepada takdir. Ia menjadi kafir sehingga terusir dari rahmat dan hadirat Allah. Sebaliknya, Adam a.s. mengakui kesalahan dirinya, dan sebagai bentuk tanggung jawabnya, ia memohon ampunan, menerima rahmat Allah dan akhirnya mendapat keselamatan.
Setiap muslim dan mukmin haram mempertanyakan atau menjadikan takdir sebagai dalih. Tindakan itu hanya akan melahirkan keragu-raguan, atau lebih jauh lagi, kekafiran. Setiap Mukmin wajib percaya kepada kebijaksanaan Allah. Segala kejadian yang disaksikan manusia dalam dirinya dan di dunia ini tentu ada sebabnya. Namun, karena didasarkan atas kebijaksanaan Ilahi, sebab itu tak mungkin dipahami oleh logika manusia. Jika kau menghadapi kekafiran, kemunafikan, kemusyrikan dan ragam kejahatan lainnya di dunia ini, jangan sampai semua itu mengguncangkan imanmu. Ketahuilah Allah SWT dengan kebijaksanaan-Nya yang mutlak telah menentukan segala sesuatunya. Dia-lah yang menciptakan apa yang tampak sebagai keburukan untuk mengungkapkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Mungkin sebagian orang melihat manifestasi tersebut kejam dan buruk. Namun, ada rahasia besar di balik semua ini yang hanya dapat diketahui oleh Rasulullah saw.
Alkisah, seorang alim berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Yang Maha Esa, semuanya telah Kau takdirkan. Nasibku berada dalam genggaman-Mu. Kehendakku ada di tangan-Mu, ilmu yang Kau berikan kepadaku adalah ciptaan-Mu.”
Tiba-tiba muncul suatu jawaban tanpa suara dan tanpa kata, dari dalam dirinya sendiri: “Hai hamba-Ku, semua yang kau katakan adalah milik Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, bukan milik hamba.”
Alim itu berkata lagi, “Tuhanku, aku telah menganiaya diriku sendiri. Aku telah berbuat salah dan berdosa.”
Setelah pengakuan itu, ia mendengar lagi suara dari dalam dirinya, “Aku melimpahkan rahmat-Ku atas dirimu. Semua kesalahanmu telah Kuhapus. Kau telah Ku-ampuni.”
Setiap mukmin harus menyadari dan bersyukur bahwa semua kebaikan mereka bukanlah dari mereka, melainkan hanya melalui mereka. Keberhasilan berawal dari Sang Pencipta. Jika bersalah, ketahuilah bahwa kesalahan dan dosa berasal dari diri mereka, agar mereka bertobat. Kejahatan bersumber dari hasrat sesat nafsu mereka. Jika kau memahami ini dan mengikutinya, kau termasuk golongan orang yang disebut oleh Allah sebagai:
Orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ingat kepada Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. Sesungguhnya balasan bagi mereka adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya… (QS Ali Imran [3]: 135-136).
Setiap mukmin mesti meyakini bahwa penyebab semua kesalahan adalah dirinya sendiri. Keyakinan ini akan menyelamatkan dirinya. Itu lebih baik daripada menisbatkan kesalahannya kepada Yang Mahasuci lagi Mahakuasa, Yang Maha Esa Sang Pencipta semesta.
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah seseorang akan menjadi baik atau jahat sudah diketahui ketika ia berada dalam rahim ibu.” Makna ‘rahim ibu’ dalam hadis itu adalah empat unsur sumber semua kekuatan dan daya material. Dua diantaranya adalah tanah dan air, yang berfungsi menumbuhkan iman dan ilmu, menghidupkan dan mewujud di dalam hati sebagai sikap rendah hati, karena tanah bersifat rendah. Lawan keduanya adalah api dan eter, yang bersifat membakar, merusak, dan membinasakan. Allah telah menjadikan keempat unsur yang berlawanan ini dalam sebuah wujud. Bagaimana air dan api dapat berdampingan? Bagaimana cahaya dan kegelapan sama-sama berada dalam awan ?
Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung.
Dan guruh itu bertasbih memuji Allah. (Begitu pun) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki (QS Ar Raad [13]: 12-13)
Suatu hari, seseorang bertanya kepada Syaikh Yahya bin Muaz al-Razi, “Bagaimana kau mengenal Allah?”
“Dengan menyatukan hal-hal yang berlawanan.”
Segala hal yang berlawanan berkaitan dengan, bahkan syarat untuk memahami, sifat-sifat Allah. Manusia merupakan cermin yang memantulkan kebenaran Ilahi. Dalam wujudnya, manusia meliputi seluruh semesta. Karena itulah ia disebut penyatu yang majemuk – makrokosmos. Karena Allah telah menciptakan-Nya dengan tangan-Nya sendiri, tangan kasih sayang-Nya, dan tangan kekuatan serta amarah-Nya. Karena itu, manusia merupakan cermin yang menampilkan sisi yang kasar dan keras, maupun sisi yang halus dan indah.
Semua nama Ilahi diejawantahkan dalam diri manusia, sedangkan semua makhluk lainnya hanya bersisi tunggal. Allah menciptakan Iblis dan keturunannya dari sifat amarah-Nya. Dia menciptakan malaikat dari sifat rahmat-Nya. Sifat kewalian dan ketekunan beribadah ada pada para malaikat, sedangkan Iblis dan para pengikutnya, yang diciptakan Allah dari sifat amarah-Nya, memiliki sifat zalim. Karena itulah Iblis bersikap sombong dan enggan ketika diperintahkan Allah untuk bersujud kepada Adam.
Karena manusia memiliki sifat yang mulia sekaligus yang tercela, dan karena Allah telah memiliih para rasul dan wali-Nya dari kalangan manusia maka para utusan-Nya pun tidak lepas dari kesalahan. Sebagai penerima risalah, para nabi terpelihara dari dosa-dosa besar. Namun, mereka tidak luput dari dosa-dosa kecil. Berbeda dengan para nabi, para wali tidak suci dari dosa. Namun, jika mereka telah mencapai kesempurnaan dalam pendekatan diri kepada Allah maka mereka akan terpelihara dari dosa.
Syaqiq al-Balkhi, semoga Allah menyucikan ruhnya, berkata, “Ada lima tanda kesalehan: sifat yang baik dan hati yang lembut, sering menangis karena tobat, kesederhanaan dan mengabaikan dunia, tidak serakah dan memiliki kesadaran diri. Tanda seorang pendosa pun ada lima: berhati keras, memiliki mata yang tak pernah menangis, cinta dunia dan segala urusan duniawi, serakah dan tidak memiliki kesadaran atau rasa malu.”
Rasulullah saw. menisbatkan empat sifat kepada orang yang saleh, yaitu: “Dapat dipercaya dan menjaga serta menunaikan amanah yang disampaikan kepadanya; selalu menepati janji; jujur dan tak pernah berdusta; tidak kasar dan tidak melukai hati orang lain.” Rasulullah juga menyebutkan empat ciri pendosa, yaitu “Khianat, tak dapat dipercaya dan tidak menunaikan amanat. Ia tidak menepati janji; suka berdusta; ketika berbicara suka menyerang dan mengutuk sehingga ia sering melukai hati orang lain.” Di samping itu, orang yang berdosa enggan memaafkan kesalahan orang lain. Inilah tanda orang yang tidak beriman, karena memaafkan adalah ciri utama seorang mukmin. Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw: “Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS Al A’raaf [7]: 199).
Perintah “Jadilah pemaaf” tidak hanya berlaku atas Rasulullah saw. Perintah itu berlaku atas setiap orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Jika seorang raja menitahkan kepada gubernur untuk melakukan sesuatu maka perintah itu pun berlaku atas masyarakat yang ada di bawah pimpinan sang gubernur, meskipun raja itu hanya mengatakan kepada dirinya.
Ungkapan “jadilah pemaaf” sama saja dengan ucapan “Biasakanlah memaafkan dan jadikan pemaaf sebagai sifatmu, bagian dirimu sendiri.” Rasulullah juga bersabda, “Siapa saja yang bersifat pemaaf, ia akan menerima salah satu nama Allah, yakni Yang Maha Pengampun.” Allah berjanji, …Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah… (QS Asy Syuraa [42]: 40).
Ketahuilah, kebaikan dapat berubah menjadi kemaksiatan dan kemaksiatan menjadi kebaikan tidak dengan sendirinya, tetapi karena usaha dan perbuatan manusia. Rasulullah saw bersabda, “Semua anak dilahirkan sebagai muslim. Orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi orang baik atau jahat. Karena itu, kita tak patut menghakimi seseorang atau sesuatu sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Pandangan yang benar adalah bahwa jika kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya, berarti ia orang baik dan jika keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, berarti ia orang jahat.
Dan tidak berarti bahwa seseorang akan masuk surga tanpa melakukan amal baik sedikit pun, atau bahwa ia dimasukkan ke neraka tanpa melakukan kejahatan sedikit pun. Pandangan seperti itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Allah telah menjanjikan surga kepada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, dan Dia mengancam pelaku maksiat, tidak beriman, dan menyekutukan Allah dengan azab neraka. Allah berfirman:
Barangsiapa mengerjakan amal saleh maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanlah kamu dikembalikan. (QS Al Jaatsiyah [45]: 15)
Pada hari-hari itu tiap-tiap jiwa diberi balasan atas perbuatannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS Al Mu;min [40]: 17)
Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS An Najm [53]: 39)
Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah (QS Al Baqarah [2]: 110) []
(Syaikh Abdul Qadir Jailani)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment