MENGENAI PERCERAIAN
(Dari Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali)
Hendaklah diketahui bahwasanya perceraian itu mubah (boleh) tetapi perceraian adalah mubah yang paling dibenci oleh Allah Ta’ ala. Perceraian itu hanya mubah bila padanya tidak ada sesuatu yang menyakitkan dengan kebatalannya. Dan manakala ia menceraikannya maka ia menyakitinya. Dan tidak boleh menyakitinya kecuali karena tindakan yang berdosa dari pihaknya (istri) atau dengan darurat dari pihaknya (suami). Allah Ta’ ala berfirman:
“ Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.” (QS An Nisaa [4]: 34)
Jika ayahnya (laki-laki) membencinya (istri anaknya) maka hendaklah ia menceraikannya. Ibnu Umar ra berkata:
“ Di bawahku ada seorang istri yang saya cintai. Dan ayahku membencinya dan menyuruhku untuk menceraikannya. Lalu saya mengembalikan kepada Rasulullah, maka beliau bersabda: “ Hai Ibnu Umar, ceraikanlah istrimu!”
Ini menunjukkan bahwa hak orang tua itu didahulukan, tetapi ayah itu membencinya bukan karena maksud yang fasid (rusak) seperti Umar.
Manakala istri itu menyakiti suaminya dan berkata keji kepada keluarga laki-laki maka wanita itu berbuat dosa. Demikian juga manakala wanita itu buruk perangainya atau rusak agamanya. Ibnu Mas’ ud berkata mengenai firman Allah
Ta’ ala:
“ Janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (QS Ath Thalaq: 1)
Manakala ia berkata keji kepada keluarga laki-laki dan menyakiti suami maka itu perbuatan keji. Ini dimaksudkan dalam iddah, tetapi merupakan memperingatkan kepada maksud.
Jika tindakan yang menyakitkan itu dari suami maka wanita itu berhak untuk menebus dengan menyerahkan harta. Dan makruh bagi suami untuk mengabil dari wanita apa yang lebih banyak daripada apa yang telah diberikan karena itu berlawanan kepada wanita, membebani dan perdagangan atas kemaluan istri. Allah Ta’ala berfirman:
“ Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(QS Al Baqarah : 229)
Maka wanita itu mengembalikan apa yang telah diambilnya dan apa yang dibawahnya maka itu layak dengan tebusan. Jika wanita minta cerai tanpa ada sesuatu yang menyakitkan maka wanita itu berdosa.
Nabi saw bersabda:
“ Mana saja wanita meminta suaminya untuk mentalaknya tanpa sesuatu yang membahayakan maka ia tidak menghirup bau harum surga.” (HR Abu Dawud)
Di dalam lafal lain:
“ Maka surga haram atasnya”
Dan di dalam lafal lain bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“ Wanita-wanita yang berkhulu’ adalah wanita-wanita yang munafiq.”(HR An Nasa’ i)
Kemudian hendaklah suami memelihara empat hal di dalam mentalak, yaitu:
1. Mencerainya dalam keadaan suci yang belum disetubuhi, karena talaq di masa haid atau suci yang sudah disetubuhi itu bid’ I yang haram meskipun talaq itu jatuh karena di dalamnya terdapat pemanjangan iddah atas wanita. Jika ia melakukan hal itu maka hendaklah ia merujuknya.
Ibnu Umar mentalaq istrinya dalam masa haid. Lalu beliau Saw bersabda kepada Umar: “ Perintahkanlah kepadanya maka hendaklah ia merujuknya sehingga ia suci kemudian haid kemudian suci, lalu jika ia mau maka ia (baru) mentalaqnya dan jika ia mau maka ia menahannya. Itulah ‘ iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mentalaq istrinya.” (HR Muttafaq ‘ alaih)
Beliau memerintahkan kepadanya untuk sabar dua kali suci setelah rujuk agar maksud rujuk itu tidak talaq saja.
2. Ia mencukupkan pada satu kali talaq maka ia tidak menghimpun antara tiga talaq karena talaq satu setelah iddah itu memberi faidah maksud dan ia dapat memanfaatkan rujuk jika ia menyesal dalam iddah. Dan memperbarui nikah jika ia menghendaki setelah iddah. Namun apabila ia mentalaq tiga, banyak kali ia menyesal lalu ia butuh kepada muhallil untuk memperistrinya dan butuh kesabaran sampai suatu waktu pada hal aqad muhallil itu dilarang. Dan menjadilah ia orang yang berusaha padanya. Kemudian hatinya tergantung dengan istri orang lain dan pentalakannya – say a maksudkan istri muhallif setelah muhallil itu kawin daripadanya. Kemudian hal itu menjadikan lari dari istri. Seluruhnya itu buah mengumpulkan (Talaq tiga). Dan dalam satu talaq itu cukup dalam maksud itu tanpa ada larangan. Dan saya tidak mengatakan bahwa mengumpulkan itu haram tetapi hal itu makruh dengan pengertian-pengertian ini. Dan saya maksudkan dengan makruh itu adalah ia meninggalkan tinjauan kepada talaq bagi dirinya.
3. Ia halus dalam mengemukakan alasan mencerainya, tanpa keras dan meremehkan. Dan ia baikkan hatinya dengan hadiah untuk menyenangkan dan menutup bagian sakitnya perpisahan yang mengejutkannya. Allah Ta’ ala berfirman:
“ Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ ah (pemberian) kepada mereka” (QS Al Baqarah: 236)
Dan itu adalah wajib manakala ia tidak menyebut mas kawin pada asal nikah.
Talaq itu mubah. Allah telah menjanjikan kekayaan dalam perceraian dan pernikahan. Dia berfirman:
“ Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya” (QS An Nisaa: 130)
4. Ia tidak menyiarkan rahasia wanita baik dalam menceraikannya maupun dalam pernikahan. Dalam menyiarkan rahasia wanita terdapat ancaman besar.
(“ Sesungguhnya sebesar-besar amanat di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang menyentuh istrinya dan istrinya menyentuhnya kemudian laki-laki itu menyiarkan rahasianya.” – HR Muslim) `
No comments:
Post a Comment