Tanya:
Kenapa kitab Ihya Ulumuddin tetap bertahan, walaupun diisukan banyak hadist maudhu di dalamnya?
Kenapa kitab Ihya Ulumuddin tetap bertahan, walaupun diisukan banyak hadist maudhu di dalamnya?
Jawab:
Ihya Ulumuddin ditulis oleh Imam al Ghazali. Imam al ghazali memperoleh ijazah dari Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, lalu Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, dia telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiyah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah.
Ihya Ulumuddin ditulis oleh Imam al Ghazali. Imam al ghazali memperoleh ijazah dari Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, lalu Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, dia telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiyah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah.
Dengan begitu, Imam al Ghazali sangat memahami kadiah-kaidah ilmiah dalam ilmu mutsalah hadist, disiplin keilmuan tradisi islam yang membahas perihal kajian sanad dan matan hadist. Ini bisa terlihat dari bagaimana al Ghazali menulis rujukan Quran dan hadistnya di kitab Ihya.
Di setiap bab Ihya yang beliau tulis, Imam Ghazali selalu memulainya dgn ayat-ayat quran sebagai rujukan utamanya. Kemudian beliau iringi dengan rujukan hadist-hadist sahih yg mutawatir. Kemudian hadis sahih yg ahad, kemudian yg hasan jika ada, kmudian dhaif jika ada, kmudian yg ikhtilaf kedhaifannya --terjadi perbedaan antar ulama hadist soal kualitas sanadnya-- jika ada, kemudian yg ikhtilaf maudhu’nya jika ada, kemudian yg semata-mata maudhu.
Namun perlu diperhatikan dalam ilmu mutsalah hadist, jika ada hadist yang dhaif atau maudhu secara sanad, namun matannya bisa dibuktikan selaras dengan quran dan hadist yg lebih shahih sanadnya, maka kualitas hadist tersebut naik menjadi hasan li ghairihi. Itulah mengapa al Ghazali menulis hadist--hadist rujukannya dengan urutan seperti itu di kitab Ihya Ulumuddin.
Kitab Ihya Ulumuddin adalah kitab mahakarya dalam tradisi islam yang mensinergikan dan mendamaikan antara keilmuan fiqh dan keilmuan tasawuf. Sehingga untuk rujukan fiqh, pembaca bisa merujuk pada kutipan quran dan hadist shahih yang dikutip Imam al Ghazali. Sedangkan untuk fadhilah amal --yang umumnya melekat ke tradisi tasawuf--, para ulama mutsalah hadist sepakat bahwa hadist-hadist yang sanadnya kurang shahih bisa di gunakan untuk memahami fadhilah saja, tidak bisa dijadikan rujukan syariah. Rujukan syariah tetap merujuk pada quran dan hadist yang shahih.
(Dari wall FB Rezha Rohadi)
No comments:
Post a Comment