Kalau seseorang kelihatan keras kepala, sombong dan bangga diri. Maka ia disuruh meminta-minta bantuan. Karena sesungguhnya semua sifat itu tidak akan hancur selain dengan sifat hina diri. Dan tiada kehinaan yang lebih besar dari kehinaan meminta-minta. Maka ia dipaksakan melakukan hal yang demikan beberapa lamanya. Sehingga hancurlah sifat kesombongan dan bangga dirinya.
Thursday, March 11, 2021
Kebahagiaan itu tidak tergantung dengan keadaan lahiriyah. Ia tidak mempersyaratkan kepemilikan atau pencapaian tertentu. Karena ia berupa sebuah cahaya damai yang ada di dalam lubuk hati. Sedemikian dalam ia hingga orang luar kadang tertipu dengan merasa seseorang dalam sebuah penderitaan tapi sebenarnya hati yang bersangkutan sudah berdamai dengan takdir hidupnya. Sebaliknya, tidak sedikit yang nampaknya berlimpah, mahsyur, banyak kemudahan dalam hidupnya tapi hatinya sepi dan kering, karena ia tidak bahagia.
Orang sering menyalah artikan "happiness" dengan "pleasure". Kebahagiaan di hati dengan kesenangan yang berasal dari obyek-obyek lahiriyah. Pun kebahagiaan yang dikejar dengan syarat-syarat tertentu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah padang pasir kehidupan.
Ada yang berpikir kalau hartanya berlimpah ia akan bahagia, tapi begitu pintu-pintu dunia dibukakan dia malah tidak tenang hatinya. Ada yang berpikir jika sudah menikah dan berkeluarga maka dia akan bahagia, begitu Allah mempertemukan dia dengan jodohnya kok terasa makin mumet dan ribut terus.
Ada yang berpikir kalau punya momongan kehidupan rumah tangga akan makiin harmonis dan jadi perekat yang baik antara suami istri. Tapi begitu anak lahir malah makin sering bertengkar, justru karena perbedaan pola pengasuhan anak.
Ada yang berpikir kalau punya pekerjaan dan karir yang bagus apalagi dengan gaji yang tinggi maka hidupnya bahagia. Tapi begitu ia di puncak karir ia tidak menemukan apa-apa disana malah bertambah jauh dari anak dan keluarga dan banyak kehilangan momen yang berharga dalam hidup.
Apa lantas tidak usah mengejar karir yang bagus? Tak perlu mencari jodoh - atau sekalian tidak menikah? Wah, ya tidak kesana kesimpulannya. Tapi poinnya adalah bahwa kita betul-betul harus mengubah definisi kita tentang kebahagiaan. Agar apapun yang kita miliki sekarang bisa disyukuri dan dinikmati. Agar kita bisa tersenyum menjalani takdir hari ini. Agar kita bisa bersuka cita dengan pembagian qadha dan qadar-Nya.
Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak jauh dari bumi tempat kedua belah telapak kaki kita berpijak. Tapi kita harus benar melihatnya, mata hatinya harus dipasang agar dapat melihat dimensi lain dalam kehidupan. Bahwa di balik mata yang sehat, jantung yang masih berdetak baik, paru-paru bisa mengembang baik dan bernafas dengan lega. Di balik tawa canda anak-anak, di balik pekerjaan dan aktivitas yang 'gitu-gitu' aja atau 'kurang sukses' kata orang itu tersimpan sebuah karunia yang berlimpah dari-Nya. Berhenti dengarkan kata orang, mulai dengarkan kata nurani, karena itu saluran Dia berkata-kata langsung dengan kita.
Syukuri apapun keadaan dan situasi kita saat ini apa adanya. Sungguh semuanya didatangkan dari Sang Maha Pencipta yang tak ada makhluk lain sanggup mengkreasi kehidupan ini. Langkah awalnya adalah dengan terima dulu. Lihat apa adanya tanpa membubuhi dengan prasangka dan dikotak-kotakkan dalam tibangan kurang-lebih, buruk-baik dsb. It is as it is. Allah Ta'ala hanya memberi yang terbaik. Tak pernah dia memberi takdir kualitas nomor dua. Sekarang perkara kita belum mampu melihat kebaikan yang Dia berikan, istighfari itu sambil sabar menanti pengajarannya. Dan rasakan betapa kita menjadi lebih ringan dan bahkan bersuka cita menjalani setiap hembusan kehidupan.
Tuesday, February 23, 2021
Monday, January 18, 2021
Murid:
Mengapa Tuhan menciptakan syaithan jika Dia ingin kita menjadi baik?
Bawa Muhaiyyaddeen:
Ini pertanyaan yang sangat bagus. Awalnya Tuhan menciptakan syaithan sebagai makhluk yang baik. Di alam langit, syaithan pernah menjadi pemimpin bagi kaum jin. Akan tetapi ketika Tuhan menciptakan Adam, seorang manusia, sebagai makhluk yang mulia, syaithan menjadi iri.
Adam diciptakan dari tanah dan syaithan diciptakan dari api. Karena itulah syaithan menjadi marah, dan saat ia murka maka ia berubah menjadi syaithan. Ia menjadi memiliki amarah, dengki dan perasaan dendam.
Awalnya amarah muncul, kemudian dengki dan lalu rasa ragu timbul dalam dirinya. Ia berpikir, "Aku diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah. Maka, bagaimana mungkin dia lebih baik sari diriku?"
Karena ia berpikir bahwa dirinya lebih baik dari manusia maka ia dipenuhi oleh rasa sombong dan menjadi sangat panas. Itulah ketika ia berubah menjadi syaithan.
Tuhan tidak menciptakan dia sebagai syaithan. Akan tetapi ketika sifat-sifatnya berubah maka Tuhan berfirman, "Kau adalah yang tersesat" dan mengusirnya dari surga ke neraka.
Sekarang engkau paham?
Tuhan tidak menciptakan syaithan dalam keadaan yang sekarang. Adalah syaithan yang mengubah dirinya sendiri.
Sifat-sifat buruk adalah syaithan. Jika ia melepaskan semua sifat-sifat buruknya, maka ia tidak lagi menjadi syaithan. Ia hanya menjadi makhluk jin.
Demikian pula manusia. Ketika mereka menampilkan sifat-sifat jahat, mereka juga menjadi syaithan. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki rasa ujub (bangga diri), amarah, dengki, keraguan, dendam kesumat, dusta, pengkhianatan, penipuan dan egois, maka mereka menjadi manusia.
(Why Can't I See the Angels- halaman 57)
Jika engkau berdedikasi untuk melaksanakan tugasmu di dunia
engkau harus melakukannya dengan tanpa ikatan,
tanpa keberpihakan atau mengharapkan imbalan,
engkau harus melakukannya tanpa egoisme atau keinginan untuk meraih keuntungan.
Engkau harus mencintai semua kehidupan
dan memperlakukannya seperti kehidupanmu sendiri,
melihat kelaparan yang orang lain rasakan sebagai kelaparanmu,
menyadari kebahagiaan orang lain sebagai kebahagiaanmu,
kedamaian orang lain sebagai kedamaianmu,
kesenangan yang lain sebagai kesenanganmu.
Ketika seseorang melakukan tugasnya dengan cara seperti ini,
ia akan mengalami kesulitan dan sekian banyak tantangan.
(Karena) seseorang dalam tingkatan ini harus membakar dirinya untuk memberikan cahaya bagi yang lain.
Ia harus menjadi seperti lilin yang berpijar,
merelakan diri terbakar agar yang lain mendapatkan cahaya.
Itulah tugas mulianya.
Dalam keadaan ini kenyamanan macam apa yang sang lilin bisa rasakan?
Apa boleh buat.
Inilah keadaan orang yang mau menjalankan misi hidupnya untuk Tuhan,
ia harus merelakan dirinya terbakar untuk menyebarkan cahaya ke dunia sekelilingnya,
dan itulah hidupku.
- Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen, The Tree That Fell to the West
Subscribe to:
Posts (Atom)