Khidr is connected philologically with Elijah and with Utnapishtim of the Gilgamesh epic. He may be partial source, along with Druidic lore, for the enigmatic Green Knight in the Middle English poem ‘Sir Gawain and the Green Knight’.
- Coleman Barks
Menjadi ibu itu pekerjaan seumur hidup.
Anak di usia manapun itu akan selalu kita pikirkan. Saya punya tetangga, orang Jerman yang berusia 70 tahun. Setiap pagi dia bilang kalau ibunya yang sudah hidup di dunia ini 90 tahunan itu selalu menelepon dia dan bertanya, “Sudah makan belum?” Dan kadang tetangga saya ini gusar sampai menjawab, “Mom, i’m 70 years old, give me a break”😅
And I honestly think tak perlu ada istilah “full time mom” or “part time mom”, karena yang namanya ibu walaupun dia secara fisik tak sedang bersama anaknya karena bekerja atau beraktivitas lainnya tapi percayalah bahwa di benaknya kepikiran terus tentang si buah hati. Pengalaman saya adalah ketika pertama kalinya - setelah penantian 7 tahun - saya bisa keluar negeri sendiri tanpa buntut, ceritanya mau having me-time dengan menghadiri Ibnu Arabi Symposium di London selama 3 hari 2 malam. In the beginning, the thought of going out alone without kids sounds like an independence day celebration to me but i ended up scrolling down their pictures along the way and can’t wait to get back home🤷🏻♀️
It is what it is…
Tak ada institusi, kurikulum atau kelas khusus untuk menjadi seorang ibu yang pernah saya ikuti. Pendidikan formal yang ada cenderung menyamaratakan fungsi laki-laki dan perempuan. Apalagi setelah terjun ke dunia kerja, saya pun harus memberikan performance yang baik menghadapi kolega-kolega saya yang laki-laki. We were taught that man and women are equal. Well, i have nothing against that. But being mother is a wake up call that even though we’re equal, doesn’t necessarily we play the same role.
Hanya perempuan yang hamil dan menyusui. Laki-laki tidak.
Hanya perempuan yang merasakan mual-mual di awal waktu pertumbuhan janin di dalam rahim. Laki-laki kadang ikut-ikutan, but it’s not the same thing.
Hanya perempuan yang meregang nyawa rasa sakit kontraksi rahim saat melahirkan. Laki-laki cuma bisa mengeluhkan betapa sakit tangan mereka saat diremas keras-keras oleh sang istri saat menemani dalam proses persalinan. Totally different kind of pain.
Dan rasanya kebanyakan perempuan yang kerap dibuat limbung oleh pilihan kembali bekerja setelah melahirkan atau merawat anak-anak.
Ide menjadi ibu itu menyenangkan sekali. Sejak SMA saya sudah berorientasi mengurus anak-anak, makanya memilih jadi dokter dulu Dalam benak saya agar saya bisa kerja di rumah sambil ngurus anak-anak. As simple as that. Tapi yang saya tidak sadari adalah menjadi ibu berarti harus betul-betul kuat menahan mual saat hamil, sakit saat melahirkan, kurang tidur apalagi saat anak sakit, menjadikan karir bukan lagi prioritas - and that means i gotta let go lots of things, tidak sebebas dulu lagi karena terikat dengan anak - terutama kalau usia mereka masih kecil, cucian yang menumpuk setiap hari - and please note kalau kita-kita yang di luar negeri harus terbiasa bekerja tanpa keberadaan pembantu atau ART serta jauh dari keluarga yang bisa diminta tolong- besides tha, what so called by school vacations is not really vacations for mother, its simply an extrawork to do.
So yes, jadi ibu itu melelahkan, makan ati, mesti sering menelan kesal dan duka. But also very rewarding. Melihat wajah mereka yang ceria juga ungkapan kasih sayang mereka baik verbal atau non verbal, keceriaan mereka sangat mencerahkan, pun selelah apapun kita hari itu tapi hati akan meleleh setiap kali melihat mereka tidur dengan nyenyak. In short, being a mother is the best life i’ve ever had.😍
Mau hidup berubah lebih baik?
Mulailah dengan memperbaiki shalat.
Setidaknya saya bisa memberi kesaksian atas pengalaman saya pontang-panting menghadapi kehidupan. Pindah ke luar negeri, menjalankan peran sebagai ibu. Biasa kerja kantoran lalu merasa seolah “terperangkap” mengerjakan sekian pekerjaan rumah tangga yang tidak habis-habisnya. Beradaptasi dengan di dalam kehidupan pernikahan, tidak hanya dengan suami tapi dengan anak tiri dan mantan istri. Jauh dari keluarga. Secara finansial seolah tergantung pada suami. Harus membina pertemanan baru. Menjalani petualangan mencari kerja dengan semua penolakannya.
Semua roller coaster dalam kehidupan yang di awal waktu benar-benar bikin saya KO. Seperti petinju di atas ring yang habis dibantai oleh lawannya dan tak berdaya memberikan perlawanan.
Habis energi, lelah, terluka. Rasanya tidak sanggup lagi melanjutkan pertandingan. Dalam realitanya, pernikahan kami hampir kandas. Tapi, di saat-saat genting seperti itu, tiba-tiba ada ilham untuk memperbaiki shalat. Saya mulai dengan menambah shalat sunnah saya, mencoba shalat di awal waktu. Mengamalkan anjuran Mursyid saya untuk memiliki tempat shalat yang fixed di dalam rumah. Tidak berganti-ganti tempat. Dan kelapangan demi kelapangan, keajaiban demi keajaiban, rezeki yang tak terduga mulai bermunculan. Inspirasi mengalir. Semangat membara. Fokus kehidupan saya mulai terbaca jelas. Seiring dengan itu, dunia sekitar saya bergerak seirama. Aneh bin ajaib. Seperti sebuah tarian semesta alam yang mendukung apa-apa yang mesti seorang Tessa kerjakan. Termasuk ketenteraman dalam pernikahan dan keluarga yang meningkat. Hal yang tak terbayang sebelumnya, bagaimana kita bisa berjalan sejauh ini?
Dari pengalaman itulah saya berkesimpulan, bahwa keruwetan yang saya pernah alami dulu semata-mata karena saya belum tawakal kepada Allah dan mengandalkan Dia untuk membereskan segala sesuatunya. Tuhan hanya dipanggil di sepetak sajadah dan seringnya dengan hati yang lalai, sedangkan di luar waktu shalat Dia dilupakan. Seakan tak hadir. Hati terlalu tersibukkan oleh dunia. Dan ketika kita menutup diri dari-Nya maka kuasa Dia pun tidak hadir. Dan saya hanya terlunta-lunta dengan hukum sebab akibat, terpelanting dari satu kejadian ke kejadian yang lain dan mencoba menyelesaikan sendiri kemelut yang membelit bagai benang kusut sampai pusing sendiri.
Padahal pertolongan-Nya sangat dekat. Sedekat Dia yang menyatakan proksimitasnya dengan urat nadi kita sendiri. Dia tak pernah jauh. Tapi kelalaian dan keberpalingan hati kita yang membuat seakan Dia tak hadir.
Sekarang saya merasa punya karpet ajaib dalam hidup. Masalah apapun tidak saya ambil pusing. Saya tidak mau lagi playing God. Merasa bisa menyelesaikan semua hal. Apa yang Dia hadirkan saya bawa kembali ke hadapan-Nya. Di atas sajadah dan karpet itu. Sepetak kecil di rumah yang saya dedikasikan menjadi musholla saya. Gua kahfi saya. Tempat saya membawa segala sesuatunya. Lalu berjuang sabar menunggu datangnya ketetapan Allah sambil mensyukuri dan menikmati kehidupan. Menikmati mengurus suami dan anak, menikmati membereskan cucian piring dan baju yang selalu menumpuk setiap hari. Menikmati menemani anak les renang dan latihan bola. Menikmati memberi kajian dan coaching online. Simply enjoying every single bit of my life.
Every breath of it.
Knowing it won’t last forever. That today is probably my last day on earth. That this breath is probably my last breath.
Kalau saya membaca kembali perjalanan hidup ke belakang. Saya hanya bisa tersenyum sambil berkaca-kaca. Tersenyum geli atas tingkah polah saya yang meronta-ronta kerepotan menghadapi qadar-qadar yang ada sambil salah merespon dan kehilangan momen mengambil hikmahnya. Sementara Dia selalu ada. Dia selalu hadir. Tak pernah berkedip barang sekejap mata.
It was always been You.
I’m really sorry
It pains me realizing that i had been ignoring You for so many times.
Astaghfirullahaladzim…astaghfirullahaladzim…
Amsterdam, 13 Mei 2023 / 22 Syawwal 1444 H
Salah satu doa yang Rasulullah saw ajarkan yang saya amalkan di awal waktu adalah doa memohon ilmu dan pemahaman,
“Rabbi zidni ’ilmaa warzuqni fahma”
Saya ingat saat itu saya masih kelas 1 di SMPN 2 Bandung. Kalimat doa itu dituliskan di kotak tempat alat tulis dari kaleng yang selalu saya bawa ke sekolah. Dengan harapan dengan doa itu Allah membuat saya mudah memahami pelajaran dan agar otak ini encer dalam mencerna materi-materi pengajaran. Maklum, suasana EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahunan Nasional) sebagai ujian masuk jenjang SMA sudah mulai terasa gaung dan ketegangannya bahkan sejak di awal SMP. Kompetisinya ketat untuk bisa masuk ke SMA yang dipandang favorit saat itu.
Doa itu masih saya baca panjatkan sampai sekarang, dengan pemaknaan yang lebih dibanding dulu. Kalau saya membaca ke belakang, ternyata cara Allah Ta’ala mengabulkan doa saya jauh melebihi sekadar apa yang saya harapkan berupa nilai baik saat SMP, masuk SMA dan lalu lulus ujian masuk perguruan tinggi. Di masa itu juga saya diperkenalkan oleh Budhe saya ke kuliah Dhuha yang disampaikan oleh Pak Miftah Faridh di Masjid Istiqomah. Tiga tahun kemudian di kelas satu SMA saya dibuat tertarik mempelajari Kitab Ihya ‘Ulumuddin dan membeli semua volume dengan uang tabungan dari Toko Buku Dahlan di bilangan Tegalega Bandung. Inilah kitab tasawuf pertama yang membuka pintu pengembaraan saya di jalan suluk sampai sekarang. Insya Allah.
Benar kiranya bahwa doa kita selalu dijawab-Nya bahkan jauh lebih baik dari apa yang kita angankan. Masya Allah. Terima kasih Gusti…😍
Dulu, awal-awal pindah ke Belanda sempat pontang-panting ingin melanjutkan karir. Tapi ternyata berbekal pengalaman jadi dokter, direktur rumah sakit dan marketing manager di Indonesia pun tak cukup jika tak fasih berbahasa Belanda. Selain itu, it’s a whole different ball game, persaingannya skala internasional. Dan kalaupun hampir dapat pekerjaan yang diinginkan, last minute aneh si kecil selalu sakit. Dan itu terjadi berkali-kali sampai bisa terbaca polanya.
Saya selalu ingat pesan Mama saya saat menghibur dan memberi semangat, “Udah fokus saja pegang anak-anak dulu. Kalau pekerjaan akan selalu ada tapi waktu emas sama anak-anak tak akan terulang.” Saya coba move on. Menelan pil pahit harus memendam dulu ambisi karir saya sebelumnya.
Tapi kemudian ketika saya ikhtiar menghadapkan wajah hati kepada apa-apa yang Gusti Allah berikan, hidup jadi makin nyaman dan jalan rezeki terbuka lahir batinnya. Saya bersaksi untuk itu. Ternyata benar cara menjalani kehidupan adalah sesimpel merespon dengan baik semua yang Dia sampaikan di tangan kita. Gunakan setiap kegiatan yang ada jadi ikhtiar untuk beramal sholeh.
Membersihkan rumah, merapikan pakaian, mengantar anak sekolah, berbelanja dan menyiapkan makanan, semuanya dinikmati. Ya, semuanya. Karena sungguh setiap hal adalah nikmat-Nya, sebuah pengaturan Allah Ta’ala untuk keberkahan jiwa dan raga kita. Penghidupan lahir dan batin. Yang kalau kita syukuri apapun, berapapun dan bagaimanapun keadaannya, itu yang membuka keberkahan tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi lingkungannya.
Yuk, tersenyum dan sambut semua takdir dengan baik. Agar Dia pun ridho dengan kelakukan kita yang masih begini-begini dan segenap ibadah kita yang pas-pasan adanya.
27 Ramadhan 1444 H
Manusia tidak akan bisa mencapai hakikat kecuali dengan mensucikan dirinya, karena sifat-sifat duniawi tidak akan meninggalkannya hingga ia meraih hakikat. Itulah kebenaran dan kebaikan sejati.