Wednesday, December 28, 2016

Mengkaji Mukhlish dan Mukhlash - Rumi
Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia,
Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit.
Karena benda-benda terinderai itu
letaknya di alam bawah.
Cahaya Tuhan itu bagaikan laut,
sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya.
Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak,
yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata.
Cahaya inderawi, yang kasar dan berat,
tersembunyi pada hitamnya mata.
Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi,
bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian?
Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi,
apalagi apa yang ada dibaliknya,
yang lebih murni dan halus?
Alam-dunia ini bagaikan jerami,
dalam genggaman angin--yakni alam tak-nampak;
ia hanya dapat menyerahkan diri,
tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak.
Kadang ia dibuat merunduk,
kadang menengadah;
kadang bersuara,
kadang utuh, kadang terpecah.
Kadang ia digerakkan ke kiri,
kadang ke kanan;
kadang darinya tumbuh duri,
kadang menyembul mawar.
Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis,
tersembunyi Tangan;
di atas kuda yang berderap,
ada Pengendara tak-nampak.
Jika anak-panah melayang,
mestilah ada Busurnya,
walau tak-nampak;
jika tampak diri-diri kita,
mestilah ada Diri yang tersembunyi.
Jangan patahkan anak-panah,
karena ia berasal dari Sang Raja;
tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud,
ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal,
yang paling mengenal sasaran.
Dia bersabda, "... dan bukanlah engkau yang
melempar, ketika engkau melempar ..": [1]
tindakan-Nya mendahului
tindakan-tindakan kita.
Patahkanlah kemarahanmu,
bukannya anak-panah itu:
tatapanmu yang penuh amarah
menganggap susu sebagai darah.
Ciumlah anak-panah itu,
dan persembahkan kepada Sang Raja;
anak-panah berpercik darah,
darahmu sendiri.
Apa yang tampil di alam nampak,
tak-berdaya, terpenjara dan rapuh;
apa yang tak-nampak
begitu perkasa dan agung.
Kita lah hewan buruan,
yang ditunggu jebakan sangat menakutkan;
kita bagai bola dalam permainan polo,
menunggu pukulan tongkat,
dan dimanakah Sang Pemukul?
Dia menyobek,
Dia pula yang merajut:
dimanakah Sang Penjahit?
Dia meruntuhkan,
Dia yang membakar,
dimanakah Sang Pemadam api?
Dalam sekejap Dia dapat mengubah
seorang suci menjadi kufur;
sekejap pula Dia dapat mengubah
penyembah berhala menjadi seorang zahid.
Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya
terjatuh kedalam jebakan,
sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.
Karena dia masih berjalan,
dan penyamun tak terhingga jumlahnya;
yang berhasil selamat hanya
mereka yang dijaga-Nya.
Jika belum mati seseorang
dari dirinya sendiri--bagaikan cermin kemilau,
dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish:
jika dia belum berhasil menangkap burung,
maka dia masih berburu.
Tapi ketika seorang mukhlish
diubah menjadi mukhlash, [2]
maka dia telah sampai:
dia menang dan selamat.
Cermin tak berubah kembali menjadi besi,
roti tak berubah lagi menjadi biji gandum.
Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah;
buah matang tak kembali jadi mentah lagi.
Matanglah,
dan menjauhlah dari kemungkinan berubah
jadi kembali buruk:
jadilah Cahaya,
bagai Burhan-i Muhaqqiq. [3]
Catatan:
[1] QS Al Anfaal [8]: 17.
[2] "(Iblis) berkata: 'Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau, akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang al-Mukhlashiin." (QS Shaad [38]: 82 - 83).
[3] Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa
gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan 'Burhan-i Muhaqqiq' ini.
Sumber:
Rumi: Matsnavi II 1294 - 1319.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Herman Soetomo
"Takutlah kepada Allah dan berharaplah kepadaNya. Jangan pernah engkau membanggakan hasil perjuanganmu. Ketahuilah Allah telah mewakilkan urusan ini kepadamu tanpa ada yang akan menggantikan-nya, maka jangan sampai Allah gantikan kalian dengan kaum yang lain.”

- Umar bin Khaththab ra
"Sesungguhnya tidak ada manfaatnya berbangga dengan keturunan di sisi Allah kecuali dengan kepatuhan yang tulus kepadaNya.
Seluruh manusia baik yang berasal dari keturunan mulia maupun dari keturunan yang hina hakikatnya adalah sama dalam pandangan Allah. Mereka semua adalah Hamba Allah dan Allah Rabb (Pencipta dan Pengatur) mereka. Tingkat mereka akan berbeda-beda sesuai dengan kemaafan yang diberikan Allah padanya dan sedikit banyaknya ketaatan mereka kepada Allah.”

- Umar bin Khaththab ra

Tuesday, December 27, 2016

Orang yang terburu-buru melakukan sesuatu sebelum saatnya, akan diharamkan melakukannya (setelah datang waktunya)

Friday, December 23, 2016

Shalat Dan Transformasi Fitrah Diri

SHALAT DAN TRANSFORMASI FITRAH DIRI
(Zamzam A. J. Tanuwijaya & Kuswandani Yahdin)
Bismillahirrahmânirrahîm.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad Saw bersabda bahwa, “Shalat adalah mi‘raj-nya mu‘minin.” Istilah mi‘raj di sini secara spesifik dihubungkan dengan peristiwa isra-mi‘raj Nabi Saw pada tanggal 27 Rajab tahun ketiga belas dari Nubuwwah, saat beliau berusia 53 tahun. Peristiwa isra, yang artinya perjalanan malam, adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw secara horizontal dari Masjidil Haram Mekkah ke Masjidil Aqsha Yerussalem (lihat Al-Isra [17]: 1). Dan peristiwa mi’raj adalah peristiwa diperjalankannya beliau Saw secara vertikal dari Masjidil Aqsha naik ke Sidratul Muntaha. Di tempat tertinggi ini secara khusus Nabi Saw menerima perintah kewajiban menjalankan ibadah shalat bagi beliau Saw beserta umatnya sebanyak 5 kali (17 rakaat) dalam sehari semalamnya.
Secara umum, makna mi‘raj dalam hadis tersebut dihubungkan dengan “tangga” spiritual, yakni suatu perangkat ibadah yang dapat menaikkan derajat si mu‘min menjadi lebih dekat kepada Rabb-nya. Maka, di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (‘uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi Saw mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (mi‘raj) bertahap. Takbir sebagai ungkapan yang menyatakan suatu proses naik, tercermin pada saat Nabi Saw sedang mendaki sebuah bukit, di sana beliau Saw mendzikirkan kalimat takbir. Berbeda dengan ketika Nabi Saw sedang turun dari sebuah bukit, maka beliau mendzikirkan kalimat tasbih. Dalam 17 rakaat pada lima waktu shalat wajib, diucapkan 94 kali takbir pokok yang membatasi setiap bentuk sikap (state) dalam shalat. Berarti dalam sehari semalam seharusnya terjadi minimal 94 kali kenaikan derajat kedekatan dengan Allah Swt.
Istilah shalat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses “pengorbitan” setiap ciptaan Allah. Secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt . Ini diisyaratkan oleh An-Nûr [24]: 41,
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya bertasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS An-Nuur [24] : 41 )
Tasbih mencerminkan mengalirnya setiap ciptaan dalam suatu proses penyerahan diri (aslama) yang bersifat umum, dan shalat dalam hal ini mencerminkan suatu pengaliran dengan modus atau bentuk tertentu, yang secara spesifik tidak sama dari satu ciptaan ke ciptaan yang lainnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung telah ditentukan ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan telah ditentukan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Dalam pandangan para “pejalan” (salik), seekor burung yang terbang bebas menggambarkan jiwa (nafs) yang telah terbebas dari perangkap sangkar dunia, dan dua sayap burung yang terkembang melambangkan berfungsinya dua akal insan secara sinergis, yakni akal bawah (pikiran) dan akal atas (lubb). Sebagaimana Allah Swt mengungkapkan peringkat akal para malaikat dengan pernyataan bersayap dua, bersayap empat dan seterusnya, ini menunjukkan hierarki kemuliaan dari para malaikat. Maka shalat adalah seperti sepasang sayap, merupakan perangkat untuk terbang (mi‘raj) ke “atas”, sehingga afdhal-nya suatu shalat sangat ditentukan oleh pengetahuan lahiriahnya (hukum fiqh) dan pengetahuan batiniahnya (hakikat shalat)
Secara umum aspek praktis shalat, sebagai suatu ibadah mahdlah yang paling pokok, wajib ditegakkan dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Dalam aspek praktis shalat tampak tercermin keseluruhan dari dinamika kehidupan: pada saat berdiri posisi akal ada di atas qalb, pada saat ruku’ posisi akal sejajar qalb, dan pada saat sujud posisi akal ada di bawah qalb. Dan Nabi Saw mengingatkan bahwa semulia-mulia keadaan shalat adalah pada saat sujudnya, dan beliau Saw memerintahkan agar kita memperbanyak berdoa pada saat bersujud, yaitu pada saat akal diletakkan di belakang qalb (akal yang tunduk kepada qalb yang dirahmati Allah Swt).
لــَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُونَ بِهــَا ....
“Mereka memiliki qalbu yang dengannya mereka menggunakan aql-nya.” (QS Al-Hajj [22]:46)
Serangkaian shalat praktis tersebut wajib ditegakkan untuk membangun suatu keadaan dzikir kepada Allah Swt (lihat QS Thaaha [20]:14). Dzikir di sini bukan sebatas mengulang-ulang memuji Allah Swt dengan lisan ihwal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi suatu dzikir mencakup suatu keadaan totalitas jiwa (nafs) akibat sentuhan rahmat-Nya, sehingga insan tersebut baqa dalam tasbih, doa, kesyukuran dan sebagainya. Dan jika dzikir ini menjadi sebuah maqam, maka menjadi tidak berbatas waktu. Jadi serangkaian shalat praktis yang berbatas waktu wajib ditegakkan untuk membangun dan memelihara suatu keadaan shalat yang tidak berbatas waktu, dzikrullah. Petala langit dan bumi dan segala isinya “yang berserah diri dengan suka cita” (QS Fushilat [41]: 11) berada dalam keadaan shalat dengan cara “mengorbit” pada poros amr masing-masing, “Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan tasbihnya” (QS An-Nuur [24]: 41).
Tujuan sejati dari suatu suluk (tazkiyatu-nafs) adalah untuk menemukan kodrat diri, merupakan qudrah atau kuasa Allah Swt yang ada di dalam nafs, sebagai mandat/misi hidup yang harus dimanifestasikan. Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan melihat qudrah dirinya sebagai bayangan terbatas dari qudrah-Nya, dan barangsiapa yang mengenal kuasa-Nya maka akan mengenal Rabb-Nya, sebagaimana dikatakan Rasulullah Saw, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.” Dan kodrat diri ini tak lain merupakan fitrah Allah Swt yang disematkan kepada diri insan tertentu yang telah menegakkan ad-diin dalam dirinya.
“Maka tegakkanlah wajahmu kepada ad-dîn secara hanif. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah diin yang tegak, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum [30]:30).
Jika seseorang merealisasikan fitrah dirinya, maka sebagaimana petala langit dan bumi, ia hidup dalam energi minimalnya, dan akan mengalirkan suatu kekaryaan suci yang berguna untuk masyarakat. Apa yang ia lahirkan tak lain merupakan harta terpendam (kanzun makhfi)-Nya yang merahmati alam semestanya. Seorang insan yang telah berhasil merealisasi fitrah dirinya adalah seorang yang telah berhasil menegakkan ad-dîn dalam dirinya, dan ini berarti ia telah berjalan dalam shirath al-mustaqim-nya.
“Shalat itu adalah tiangnya ad-diin” ( Rasulullah Saw)
Ad-Dîn di atas mencakup tiga komponen: al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan. Ketiga aspek tersebut harus ditegakkan secara utuh di dalam diri insan. Jika satu dari ketiga aspek tersebut belum terbangun, maka ia belum termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah mendirikan ad-Dîn di dalam dirinya. Jadi rangkaian shalat itu merupakan proses untuk menegakkan ketiga pilar ad-dîn tersebut. Dan tentang pilar ketiga ad-dîn yakni al-ihsan, Nabi Saw pernah berkata, “Engkau mengabdi kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya” adalah pilar yang paling halus dan paling sulit untuk ditegakkan kecuali oleh mereka yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh, berharap bertemu (liqa’) Allah dengan kerinduan yang mendalam.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya (liqa’) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 45-46).
Bagian akhir dari ayat di atas berkaitan dengan ke-ihsan-an sebagai tanda dari hadirnya kekhusyuan di dalam shalat. Dan jika suatu shalat tidak mencapai pilar ihsan, maka ibadah shalat akan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, sehingga bangunan ad-dîn dalam diri orang tersebut sulit untuk didirikan. Jika seseorang tidak dapat menegakkan ad-dîn dalam dirinya, maka shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan fakhsya’ dan munkar.
“…sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fakhsya dan munkar. Dan sungguh dzikrullah itu adalah yang terbesar…..” (QS Al-Ankabut [29]:45)
Keihsanan dalam shalat hanya menjadi milik mereka yang berharap berjumpa (liqa’) Allah, dan ini sebagai salah satu tanda penting dari tumbuhnya benih kecintaan dari Allah Azza wa Jalla.
“ …Barangsiapa mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadat kepada-Nya.” (QS Al-Kahfi [18]: 110)
Dalam Al-Quran, aspek amal shalih diletakan setelah keimanan. Dalam pernyataan iman dan amal shalih, tercermin ketiga pilar ad-diin. Keimanan, dengan banyak tahapannya, merupakan suatu proses penegakkan pilar al-iman. Kemudian ketaatan mengamalkan setiap perintah Allah dan menjauhi larangannya, dengan ikhlas, merupakan proses penegakkan pilar al-islam. Adapun keshalihan (ketidakrusakkan) yang dilekatkan pada kata amal, merupakan suatu persoalan yang mengkualifikasi derajat amal-amal. Keshalihan diukur dari kemurnian tauhid, ini tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan membangun pengetahuan untuk mengenal-Nya, dan ini merupakan pokok dari pilar al-ihsan. Nabi Saw bersabda bahwa, “Seutama-utama amal adalah yang disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala. Amal yang banyak tanpa disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala adalah tidak berguna, dan amal yang sedikit jika disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala adalah bermanfaat.”
Kemudian Nabi Saw bersabad pula, “Siapa yang mengenal Allah maka pasti mencintai-Nya”, pada maqam ini pilar ketiga dari ad-dîn terbangun. Bagaimana agar keihsanan dan kecintaan kepada Allah dapat tumbuh, maka hanya dengan cara mengikuti semua langkah Nabi Saw dengan ikhlas, baik lahiriahnya maupun batiniahnya.
“Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS Ali Imran [3]:31)
Dan Nabi Saw bersabda, “Amal yang paling Allah cintai adalah shalat pada awal waktu, kemudian Berbakti kepada orang tua, dan setelah itu jihad fisabilillah.”
Para mu‘min sejati adalah para pecinta Allah Swt, maka ad-dîn tegak dalam dirinya, sehingga tidak ada perbuatan fakhsya’ dan kemungkaran yang keluar dari dirinya.
Alhamdulillahi Rabbil-‘aalamin
Wallahu a’lam bish-shawaab.

Thursday, December 22, 2016

Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba dalam amanah, keikhlasan dan kejujuran. Maka jangan katakan pada Allah bahwa aku memiliki masalah, tetapi katakan pada masalah bahwa aku memiliki Allah Yang Maha Segalanya ...

-Sayyidina Ali ra.-

Ayat-Ayat Al Qur'an tentang Sakinah

“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).

Tuesday, December 20, 2016

Lima perkara yg merupakan bagian dari iman, siapa yg dalam dirinya tidak memiliki salah satu diantaranya maka ia tidak memiliki iman sama sekali, yaitu: berserah diri terhadap amr Allah, ridha terhadap qadha Allah, menyerahkan segenap dirinya kepada Allah, bertawakal kepada Allah, dan bersabar pada saat tibanya musibah. 

-Rasulullah Muhammad saw-

Wednesday, December 7, 2016

Tauhid yaitu seseorang melihat segala sesuatu itu dari Dzat Yang membuat sebab-sebab, dan ia tidak menoleh kepada perantara-perantara namun ia melihat perantara-perantara itu ditundukkan.
Imam Al Ghazali, Ihya 'Ulumuddin

Monday, December 5, 2016

"Lidah mewakili kebatinan kita"
- Buya Hamka
Lawanlah nafsu bicara dengan menutup mulut. Hadapilah persoalan pelik dengan tafakur,” demikian ungkap Imam Syafi’I yang dikutip Imam Ghazali dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dholal.
Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa yang mengenal dirinya, yang tidak melanggar batas dirinya, yang menjaga lisannya, dan yang tidak menyia-nyiakan hidupnya di dunia ini ... -Sayyidina Ali ra-
Wahai Ali, pelajarilah Al-Qur'aan dan ajarkanlah kepada manusia, maka bagimu setiap satu huruf sepuluh kebaikan, dan apabila kamu mati maka mati dalam keadaan syahid. Wahai Ali, pelajarilah Al-Qur'aan dan ajarkanlah kepada manusia, maka apabila kamu mati, para malaikat akan mengunjungi kuburanmu sebagaimana manusia mengunjungi Ka'bah Baitullah Al-Atiq. 

-Rasulullah Muhammad saw-
" ...Hatiku tidak (pernah) mencela seharipun dari umurku ..."
(nabi Ayub as)
Karomah itu bukan mampu berjalan di atas air.
Karomah itu ketika mampu menyaksikan - dengan jujur- bahwa saat ini kita adalah sebuah anugerah besar, dan jiwa kita merasa begitu hidup dalam menjalani setiap saatnya.

Friday, December 2, 2016

Secara global semulia-mulia ilmu dan tujuannya adalah mengenal Allah 'Azza wa Jalla.
Dan ia tidak akan sampai kepada pengenalan yang benar kepada Allah 'Azza wa Jalla kecuali setelah usaha keras yang melelahkan dan keberanian yang sempurna untuk berbeda dengan orang-orang yang umum dan khusus dalam melawan ketaklidan mereka karena semata-mata syahwat mereka.

- Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin