Friday, August 3, 2012

Kebahagiaan dan Penderitaan

Ketahuilah, manusia terbagi ke dalam dua golongan: pertama, mereka yang tenteram, senang dan bahagia, yang beramal saleh karena taat kepada Allah; kedua, mereka yang ketakutan, ragu dan menderita karena bermaksiat kepada Allah. Manusia memiliki potensi untuk taat maupun untuk bermaksiat. Jika keikhlasan, ketulusan, dan kebaikan mendominasi seseorang, niscaya keangkuhannya berubah menjadi kelembutan dan sisi buruk ditaklukkan oleh sisi baiknya. Sebaliknya, jika hawa nafsu mendominasi maka kemaksiatan akan mengalahkan kesucian dan ketaatan sehingga ia gemar bermaksiat. Jika kedua sifat yang saling bertentang ini sama kuat, ia boleh berharap bahwa kebaikan akan menang, seperti yang dijanjikan oleh Allah: Barangsiapa membawa amal yang baik, baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya… (QS Al An’aam [8]: 160). Dan jika Allah menghendaki, Dia akan melipatgandakan karunia-Nya. Namun, jika antara kebaikan dan dosa seimbang, seseorang harus melewati ujian yang berat di hari kiamat. Berbeda halnya dengan orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya, sebab ia tidak akan dihadang ujian; tak ada perhitungan atas dirinya. Ia akan masuk surga tanpa melalui kengerian hari kiamat. Dan adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan (QS AL Qaari’ah [101]: 6-7). Orang yang timbangan dosanya lebih berat daripada amal baiknya, niscaya akan menghadapi azab yang setimpal. Lalu ia akan dilemparkan ke dalam kobaran api neraka dan, jika ia memiliki iman, ia akan masuk surga. Pertentangan antara ketaatan dan kemaksiatan adalah pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Keduanya ada dalam diri manusia meskipun keadaan keduanya berubah-ubah. Kebaikan dapat berubah menjadi kejahatan dan kejahatan dapat menjadi kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kebaikannya mengalahkan kejahatannya akan mendapatkan keselamatan, ketenteraman dan kebahagiaan, sedangkan orang yang kejahatannya lebih banyak daripada kebaikannya, ia akan berbuat maksiat dan menjadi orang yang jahat; orang yang mengakui kesalahannya, bertobat dan mengubah jalan hidupnya, niscaya kemaksiatannya akan diubah menjadi ketaatan dan ibadah.” Ketahuilah, Allah telah menetapkan bahwa kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan mukmin yang taat, dan penderitaan para pelaku maksiat merupakan keadaan bawaan manusia. Keduanya merupakan daya potensial dalam diri manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang beruntung menjadi orang baik telah ditetapkan menjadi orang yang baik ketika ia masih di rahim ibunya, dan orang yang jahat telah ditakdirkan menjadi jahat sejak ia berada dalam rahim ibunya.” Itulah keadaannya, dan tak seorangpun berhak membahas persoalan ini. Ketetapan Allah bukanlah obyek pemikiran yang harus dibahas. Orang yang tergoda untuk membahasnya akan terjerumus ke dalam kemurtadan dan kekafiran. Selain itu, tak seorang pun boleh menggunakan takdir sebagai dalih untuk meninggalkan usaha, kerja keras, dan amal baik. Kau tak boleh berkata, “Jika aku memang ditakdirkan menjadi orang baik, tak perlu aku bersusah payah mengerjakan kebaikan, toh aku telah dirahmati.” Atau, “Jika aku telah ditakdirkan menjadi orang jahat, apa gunanya berbuat baik?” Pandangan seperti itu jelas-jelas sesat. Tak patut kau berkata, “Jika keadaanku telah ditetapkan di masa lalu, apa untung-ruginya aku berharap pada perbuatanku saat ini?” Perbedaan sikap mengenai takdir ini tergambar pada perbedaan antara Adam a.s. manusia dan nabi pertama, dan Iblis. Iblis menisbatkan kemaksiatannya kepada takdir. Ia menjadi kafir sehingga terusir dari rahmat dan hadirat Allah. Sebaliknya, Adam a.s. mengakui kesalahan dirinya, dan sebagai bentuk tanggung jawabnya, ia memohon ampunan, menerima rahmat Allah dan akhirnya mendapat keselamatan. Setiap muslim dan mukmin haram mempertanyakan atau menjadikan takdir sebagai dalih. Tindakan itu hanya akan melahirkan keragu-raguan, atau lebih jauh lagi, kekafiran. Setiap Mukmin wajib percaya kepada kebijaksanaan Allah. Segala kejadian yang disaksikan manusia dalam dirinya dan di dunia ini tentu ada sebabnya. Namun, karena didasarkan atas kebijaksanaan Ilahi, sebab itu tak mungkin dipahami oleh logika manusia. Jika kau menghadapi kekafiran, kemunafikan, kemusyrikan dan ragam kejahatan lainnya di dunia ini, jangan sampai semua itu mengguncangkan imanmu. Ketahuilah Allah SWT dengan kebijaksanaan-Nya yang mutlak telah menentukan segala sesuatunya. Dia-lah yang menciptakan apa yang tampak sebagai keburukan untuk mengungkapkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Mungkin sebagian orang melihat manifestasi tersebut kejam dan buruk. Namun, ada rahasia besar di balik semua ini yang hanya dapat diketahui oleh Rasulullah saw. Alkisah, seorang alim berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Yang Maha Esa, semuanya telah Kau takdirkan. Nasibku berada dalam genggaman-Mu. Kehendakku ada di tangan-Mu, ilmu yang Kau berikan kepadaku adalah ciptaan-Mu.” Tiba-tiba muncul suatu jawaban tanpa suara dan tanpa kata, dari dalam dirinya sendiri: “Hai hamba-Ku, semua yang kau katakan adalah milik Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, bukan milik hamba.” Alim itu berkata lagi, “Tuhanku, aku telah menganiaya diriku sendiri. Aku telah berbuat salah dan berdosa.” Setelah pengakuan itu, ia mendengar lagi suara dari dalam dirinya, “Aku melimpahkan rahmat-Ku atas dirimu. Semua kesalahanmu telah Kuhapus. Kau telah Ku-ampuni.” Setiap mukmin harus menyadari dan bersyukur bahwa semua kebaikan mereka bukanlah dari mereka, melainkan hanya melalui mereka. Keberhasilan berawal dari Sang Pencipta. Jika bersalah, ketahuilah bahwa kesalahan dan dosa berasal dari diri mereka, agar mereka bertobat. Kejahatan bersumber dari hasrat sesat nafsu mereka. Jika kau memahami ini dan mengikutinya, kau termasuk golongan orang yang disebut oleh Allah sebagai: Orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ingat kepada Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. Sesungguhnya balasan bagi mereka adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya… (QS Ali Imran [3]: 135-136). Setiap mukmin mesti meyakini bahwa penyebab semua kesalahan adalah dirinya sendiri. Keyakinan ini akan menyelamatkan dirinya. Itu lebih baik daripada menisbatkan kesalahannya kepada Yang Mahasuci lagi Mahakuasa, Yang Maha Esa Sang Pencipta semesta. Rasulullah saw. bersabda, “Apakah seseorang akan menjadi baik atau jahat sudah diketahui ketika ia berada dalam rahim ibu.” Makna ‘rahim ibu’ dalam hadis itu adalah empat unsur sumber semua kekuatan dan daya material. Dua diantaranya adalah tanah dan air, yang berfungsi menumbuhkan iman dan ilmu, menghidupkan dan mewujud di dalam hati sebagai sikap rendah hati, karena tanah bersifat rendah. Lawan keduanya adalah api dan eter, yang bersifat membakar, merusak, dan membinasakan. Allah telah menjadikan keempat unsur yang berlawanan ini dalam sebuah wujud. Bagaimana air dan api dapat berdampingan? Bagaimana cahaya dan kegelapan sama-sama berada dalam awan ? Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. Dan guruh itu bertasbih memuji Allah. (Begitu pun) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki (QS Ar Raad [13]: 12-13) Suatu hari, seseorang bertanya kepada Syaikh Yahya bin Muaz al-Razi, “Bagaimana kau mengenal Allah?” “Dengan menyatukan hal-hal yang berlawanan.” Segala hal yang berlawanan berkaitan dengan, bahkan syarat untuk memahami, sifat-sifat Allah. Manusia merupakan cermin yang memantulkan kebenaran Ilahi. Dalam wujudnya, manusia meliputi seluruh semesta. Karena itulah ia disebut penyatu yang majemuk – makrokosmos. Karena Allah telah menciptakan-Nya dengan tangan-Nya sendiri, tangan kasih sayang-Nya, dan tangan kekuatan serta amarah-Nya. Karena itu, manusia merupakan cermin yang menampilkan sisi yang kasar dan keras, maupun sisi yang halus dan indah. Semua nama Ilahi diejawantahkan dalam diri manusia, sedangkan semua makhluk lainnya hanya bersisi tunggal. Allah menciptakan Iblis dan keturunannya dari sifat amarah-Nya. Dia menciptakan malaikat dari sifat rahmat-Nya. Sifat kewalian dan ketekunan beribadah ada pada para malaikat, sedangkan Iblis dan para pengikutnya, yang diciptakan Allah dari sifat amarah-Nya, memiliki sifat zalim. Karena itulah Iblis bersikap sombong dan enggan ketika diperintahkan Allah untuk bersujud kepada Adam. Karena manusia memiliki sifat yang mulia sekaligus yang tercela, dan karena Allah telah memiliih para rasul dan wali-Nya dari kalangan manusia maka para utusan-Nya pun tidak lepas dari kesalahan. Sebagai penerima risalah, para nabi terpelihara dari dosa-dosa besar. Namun, mereka tidak luput dari dosa-dosa kecil. Berbeda dengan para nabi, para wali tidak suci dari dosa. Namun, jika mereka telah mencapai kesempurnaan dalam pendekatan diri kepada Allah maka mereka akan terpelihara dari dosa. Syaqiq al-Balkhi, semoga Allah menyucikan ruhnya, berkata, “Ada lima tanda kesalehan: sifat yang baik dan hati yang lembut, sering menangis karena tobat, kesederhanaan dan mengabaikan dunia, tidak serakah dan memiliki kesadaran diri. Tanda seorang pendosa pun ada lima: berhati keras, memiliki mata yang tak pernah menangis, cinta dunia dan segala urusan duniawi, serakah dan tidak memiliki kesadaran atau rasa malu.” Rasulullah saw. menisbatkan empat sifat kepada orang yang saleh, yaitu: “Dapat dipercaya dan menjaga serta menunaikan amanah yang disampaikan kepadanya; selalu menepati janji; jujur dan tak pernah berdusta; tidak kasar dan tidak melukai hati orang lain.” Rasulullah juga menyebutkan empat ciri pendosa, yaitu “Khianat, tak dapat dipercaya dan tidak menunaikan amanat. Ia tidak menepati janji; suka berdusta; ketika berbicara suka menyerang dan mengutuk sehingga ia sering melukai hati orang lain.” Di samping itu, orang yang berdosa enggan memaafkan kesalahan orang lain. Inilah tanda orang yang tidak beriman, karena memaafkan adalah ciri utama seorang mukmin. Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw: “Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS Al A’raaf [7]: 199). Perintah “Jadilah pemaaf” tidak hanya berlaku atas Rasulullah saw. Perintah itu berlaku atas setiap orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Jika seorang raja menitahkan kepada gubernur untuk melakukan sesuatu maka perintah itu pun berlaku atas masyarakat yang ada di bawah pimpinan sang gubernur, meskipun raja itu hanya mengatakan kepada dirinya. Ungkapan “jadilah pemaaf” sama saja dengan ucapan “Biasakanlah memaafkan dan jadikan pemaaf sebagai sifatmu, bagian dirimu sendiri.” Rasulullah juga bersabda, “Siapa saja yang bersifat pemaaf, ia akan menerima salah satu nama Allah, yakni Yang Maha Pengampun.” Allah berjanji, …Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah… (QS Asy Syuraa [42]: 40). Ketahuilah, kebaikan dapat berubah menjadi kemaksiatan dan kemaksiatan menjadi kebaikan tidak dengan sendirinya, tetapi karena usaha dan perbuatan manusia. Rasulullah saw bersabda, “Semua anak dilahirkan sebagai muslim. Orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi orang baik atau jahat. Karena itu, kita tak patut menghakimi seseorang atau sesuatu sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Pandangan yang benar adalah bahwa jika kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya, berarti ia orang baik dan jika keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, berarti ia orang jahat. Dan tidak berarti bahwa seseorang akan masuk surga tanpa melakukan amal baik sedikit pun, atau bahwa ia dimasukkan ke neraka tanpa melakukan kejahatan sedikit pun. Pandangan seperti itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Allah telah menjanjikan surga kepada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, dan Dia mengancam pelaku maksiat, tidak beriman, dan menyekutukan Allah dengan azab neraka. Allah berfirman: Barangsiapa mengerjakan amal saleh maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanlah kamu dikembalikan. (QS Al Jaatsiyah [45]: 15) Pada hari-hari itu tiap-tiap jiwa diberi balasan atas perbuatannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS Al Mu;min [40]: 17) Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS An Najm [53]: 39) Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah (QS Al Baqarah [2]: 110) [] (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Tabir Cahaya dan Kegelapan

Allah berfirman, “Siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta.” (QS Al Israa’ [17]: 72). Buta yang dimaksudkan bukanlah buta mata, melainkan buta hati sehingga seseorang tidak bisa melihat cahaya akhirat. Allah SWT berfirman, “…sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]: 46). Satu-satunya penyebab kebutaan hati adalah kelalaian, lupa akan kewajiban, tujuan dan janjinya kepada Allah ketika ia hidup di dunia. Penyebab kelalaian adalah kebodohan terhadap hukum dan perintah Tuhan. Kebodohan ini disebabkan oleh kegelapan yang menghalanginya dari dunia luar dan membelenggu batinnya. Di antara sifat yang menggelapkan hati adalah keangkuhan, kesombongan, iri, khianat, dendam, dusta, suka menggunjing, mengumpat dan berbagai sifat buruk lainnya. Sifat-sifat inilah yang akan menjungkirkan manusia dari makhluk yang paling mulia menjadi makhluk yang paling hina. Sifat-sifat buruk ini dapat dihilangkan dengan menyucikan dan menerangi hati. Penyucian dilakukan dengan mencari dan mengamalkan ilmu, disertai tekad dan upaya yang kuat. Selain itu, dia harus memerangi nafsu di dalam maupun di luar diri dengan menjauhi realitas yang serbaneka untuk menyatu dengan tauhid. Jika perjuangan ini dilakukan tanpa henti, niscaya hati menjadi hidup diterangi cahaya tauhid. Dan jika hati telah diterangi cahaya tauhid, ia akan melihat hakikat sifat-sifat Allah di sekitar dan di dalam dirinya. Barulah setelah itu kau akan mengingat tanah air sejati tempat asalmu. Kau akan diliputi kerinduan untuk kembali ke sana, dan ketika saatnya tiba, dengan pertolongan Allah SWT, ruh suci dalam dirimu akan menyatu dengan-Nya. Ketika kegelapan sirna, cahaya datang menggantikannya sehingga orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hakikat. Ia memahami segala yang dilihatnya dengan cahaya nama-nama dan sifat Ilahi. Ia akan diliputi cahaya, dan akhirnya menjadi cahaya. Kendati demikian, cahaya masih menjadi tabir yang menutupi cahaya zat Ilahi hingga cahaya itu sirna dan yang tersisa hanya cahaya zat Ilahi. Hati memiliki dua mata, yang kecil dan yang besar. Dengan mata hati yang kecil manusia dapat melihat manifestasi sifat-sifat dan nama-nama Allah. Ia akan melihatnya sepanjang perkembangan ruhani manusia. Mata yang lebih besar hanya dapat melihat melalui cahaya tauhid dan keesaan. Mata itu akan dapat melihat jika seseorang telah mencapai wilayah kedekatan kepada Allah. Ia akan melihat di alam tertinggi manifestasi zat Allah, keesaan yang mutlak. Semua tingkatan ruhani yang tinggi ini dapat dicapai dalam kehidupan di dunia ini jika kau telah menyucikan dirimu dari sifat-sifat duniawi, termasuk sifat mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu. Keberhasilanmu menaiki jenjang-jenjang ruhani itu bergantung pada sebesar apa usahamu untuk menjauhkan diri dari sifat duniawi dan dari nafsumu. Pencapaian tujuan yang kau dambakan itu tidaklah seperti datangnya sesuatu atau seseorang di suatu tempat. Pencapaian itu pun tidak seperti peralihan dari tidak tahu menjadi tahu; tidak seperti akal yang berhasil memahami suatu obyek pemikiran; tidak pula seperti khayalan yang menyatu dengan harapan. Tujuan itu tercapai ketika kau hampa dari segala sesuatu kecuali zat Allah. Pencapaian ini merupakan proses yang terus menerus terjadi. Tak ada jarak, tak ada kedekatan maupun kejauhan, tak ada pencapaian, tak ada ukuran, tak ada arah dan tak ada dimensi. Dia Mahabesar, segala puji bagi-Nya. Dia Mahapenyayang. Dia terlihat pada apa yang disembunyikan-Nya darimu. Dia memanifestasikan diri-Nya ketika Dia letakkan tabir antara diri-Nya dan dirimu. Pengenalan kepada-Nya tersembunyi dalam kerahasiaan-Nya. Siapa saja di antara kalian yang mencapai cahaya yang dilukiskan dalam buku ini di kehidupan dunia, pertimbangkanlah catatan amalmu. Dengan cahaya itu kau dapat melihat segala sesuatu yang telah kau kerjakan. Karena itu, perhitungkanlah dan timbanglah. Kelak, di hari kiamat, kau harus membaca catatan amalmu di hadapan Tuhan. Itu merupakan titik akhir. Setelah itu, tak ada lagi peluang untuk menimbang amalmu. Jika kau menimbangnya di sini, kau masih punya waktu, kau akan termasuk ke dalam golongan orang yang selamat. Jika tidak, penderitaan dan bencana akan menjadi nasibmu di dunia ini dan di akhirat kelak. Kehidupan ini akan berakhir. Di depan kita telah menunggu azab kubur, kiamat, dan timbangan amal. Kita juga akan menghadapi jembatan ujian, yang lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang. Di ujung jembatan itu ada surga, di bawahnya ada neraka beserta segala bentuk penderitaannya yang abadi. Itulah realitas yang harus dihadapi manusia ketika kehidupan yang fana ini berakhir. [] (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Sufi Para Pejalan di Jalan Tuhan

Istilah shufi berasal dari kata Arab “shaf” yang berarti suci. Kaum sufi diberi gelar ini karena alam batin mereka disucikan dan diterangi oleh cahaya ilmu, tauhid, dan keesaan. Dalam pengertian lain, mereka disebut sufi karena secara ruhani mereka dekat dengan para sahabat Rasulullah yang disebut “Ahlu Shufah” (Ahlu Shufah juga sering dimaknai sebagai para penghuni serambi. Sebutan ini merujuk kepada para sahabat Nabi saw. yang tinggal di serambi Mesjib Nabawi. Mereka adalah para sahabat yang fakir dan selalu beribadah kepada Allah- pen) – yang berbaju kasar terbuat dari bulu domba. Bahkan, mereka sendiri mungkin selalu mengenakan pakaian kasar dan murah yang terbuat dari bulu domba (shuuf) dan banyak pula dari mereka yang selalu mengenakan pakaian usang penuh tambalan. Seperti penampilan lahir mereka yang miskin dan hina, begitu pula kehidupan duniawi mereka. Mereka sangat bersahaja dalam makan, minum dan kesenangan duniawi lainnya. Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yang bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia. Namun, pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yang sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mngikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mereka berada di garis terdepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampilan lahiriah, mereka adalah orang-orang yang menawan hati. Mereka memiliki ciri yang sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yang sesungguhnya. Dalam bahasa Arab, kata tashawwuf, terdiri atas empat huruf, t, sh, w, dan f. Huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawbah, tobat. Inilah langkah pertama yang harus ditempuh di jalan ruhani, yang meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan dan perasaan. Secara lahiriah, orang yang bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat – yang merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya – akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua. Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafaa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya. Ketentraman datang dari hati yang bebas dari kecemasan. Kecemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia – makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yang sangat berat dan melelahkan. Perjuangan itu menjadi semakin berat karena ada ikatan lain yang membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak. Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah. Pada awalnya, zikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, zikir berlangsung dalam hati dan menjadi bagian batin; yang tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman: Sesungguhnya orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) (QS AL Anfaal [8]: 2) Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berzikir menyebut asma Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam ghaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw. bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.” Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan dipersiapkan untuk hanya menerima zat Allah, yang akan memasukinya jika ia telah dihiasi oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan zikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yang disimbolkan oleh huruf sh menjadi sempurna. Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkat kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung kepada kesucian batin. Dalam kitab suci Alquran disebutkan bahwa para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, dan bahwa bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan (di kehidupan) akhirat… (QS Yunus [10]: 62 , 64). Orang yang telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yang sopan dan kepribadian yang hangat. Inilah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yang fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi matanya, telinganya, lidahnya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku dan dia berjalan bersama Aku. Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab: Katakanlah olehmu (Hai Muhammad), telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa. (QS AL Israa [17]: 81) Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna. Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yang batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan. Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada, tak pernah hilang ataupun surut. Pemusnahan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan zat yang telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridhaan-Nya: wujud manusia yang fana menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yang kekal: Segala sesuatu musnah kecuali zat-Nya…(QS Al Qashash [28]: 88) Hakikat-Nya dikenali melalui keridhaan-Nya. Jika kau melakukan sesuatu karena Dia dan diridhai-Nya, berarti kau telah mendekati hakikat-Nya, zat-Nya. Setelah itu, semuanya musnah kecuali Yang Esa; Dia menyatu dengan orang yang diridhai-Nya. Amal saleh adalah ibu yang melahirkan hakikat, yaitu jiwa sejati yang kembali. Alalh berfirman, Kepada-Nya naik perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkannya (QS Fathiir [35]: 10). Jika seseorang berbuat karena segala sesuatu selain Allah, berarti dia telah menyekutukan Allah. Sebab, ia telah menempatkan seseorang atau yang lainnya di tempat Allah. Menyekutukan Dia adalah dosa yang tak terampuni yang lambat laun akan membinasakan dirinya. Namun, jika diri dan keakuan sirna, ia akan mencapai tingkat kebersatuan dengan Allah, yang dicapai di alam kedekatan kepada-Nya; alam yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang yang bertakwa itu…di tempat yang disenangi, di sisi Tuhan Yang Mahakuasa (QS Al Qamar [54]: 54-55) Alam itu adalah alam hakikat sejati; hakikat segala hakikat; tempat keesaan dan ketunggalan. Itulah alam yang disediakan untuk para nabi, orang yang dicintai Allah dan para kekasih-Nya. Allah bersama orang-orang yang benar. Ketika eksistensi ciptaan menyatu dengan eksistensi yang kekal, eksistensi keduanya menjadi tak terpisahkan. Ketika seseorang telah melepaskan dirinya dari semua ikatan duniawi untuk bersama Allah, niscaya ia akan menerima kesucian yang kekal, yang tak pernah ternodai, dan menjadi salah seorang penghuni surga, mereka kekal di dalamnya (QS Al A’raaf [7]: 42) Mereka adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (QS Al A’raaf [7]: 42). Namun, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya (QS Al A’raaf [7]: 42). Untuk bisa mencapai tingkat penyatuan seperti itu, dibutuhkan kesabaran dan ketabahan, karena Allah bersama orang-orang yang sabar (QS Al Anfaal [8]: 66) (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Tobat, Langkah Pertama Menuju Kesempurnaan

Kami telah menjelaskan beberapa maqam dan ahwal ruhani. Ketahuilah, semua maqam ini pada hakikatnya dicapai melalui tobat. Cara tobat hanya dapat diketahui dari orang yang mengetahui caranya dan ia sendiri benar-benar telah bertobat. Tobat yang sungguh-sungguh dan ikhlas merupakan langkah pertama di jalan ruhani. Ketika orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada rasul-Nya, dan kepada orang yang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa. Dan mereka berhak atas kalimat takwa itu, dan patut memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al Fath [48]: 26) Maqam takwa memiliki makna yang sama dengan laa ilaaha illallaah: tak ada tuhan, tak ada sesuatu pun – selain Allah. Sebab, orang yang mengetahui hal ini akan takut kehilangan Dia, kehilangan rahmat, cinta dan kasih sayang-Nya, ia takut dan malu melakukan maksiat dan takut akan azab-Nya. Jika seseorang belum mencapai tingkatan ini, ia harus mencari orang yang benar-benar telah dianugerahi oleh Allah rasa takut kepada-Nya. Sumber yang melahirkan kata-kata ini harus disucikan dan dibersihkan dari segala sesuatu selain Allah. Orang yang menerimanya harus mampu membedakan antara kata-kata orang yang berhati suci dengan kata-kata orang awam. Ia juga harus memahami bagaimana kata itu diucapkan, karena kata-kata yang terdengar sama mungkin saja memiliki arti yang jauh berbeda. Mustahil kata yang muncul dari sumber yang suci akan bermakna sama dengan kata-kata yang muncul dari sumber lainnya. Hati hanya akan hidup jika dia menerima benih tauhid dari hati yang hidup, karena benih semacam itu merupakan benih yang sehat dan hidup. Tak ada sesuatu pun yang dapat tumbuh dari benih yang kering dan mati. Kalimat laa ilaaha illallaah disebutkan sebanyak dua kali dalam Alquran: Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka “laa ilaaha illallaah”, mereka menyombongkan diri dan berkata, “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami?” (QS Ash Shaffaat [37]: 35-36) Inilah tingkatan kaum awam. Bagi mereka, wujud lahir – termasuk eksistensi lahiriah mereka – adalah Tuhan. Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu (QS Muhammad [47]: 19) Firman Allah ini menjadi petunjuk bagi kaum mukmin sejati yang takut kepada Allah. Hadhrah Ali r.a. meminta Rasulullah untuk mengajarinya jalan keselamatan yang paling mudah, paling bermakna dan paling tepat. Rasulullah saw. menunggu Jibril a.s. membawa jawaban dari Allah SWT. Akhirnya ia datang dan mengajari Rasulullah saw. untuk mengucapkan “laa ilaaha – Tidak ada tuhan” seraya memalingkan wajahnya ke kanan, dan mengucapkan “illallaah” – “kecuali Allah” seraya memalingkan wajahnya ke kiri, ke arah hatinya yang suci. Ia mengulanginya tiga kali. Rasulullah saw. sendiri mengulanginya sebanyak tiga kali, begitu pun ketika mengajarkannya kepada Hadhrah Ali r.a., yang kemudian mengajarkan kalimat tauhid itu kepada para sahabatnya. Hadhrah Ali r.a. adalah orang pertama yang memintanya dan diajari oleh Rasulullah. Suatu hari, sepulangnya dari sebuah perang besar, Rasulullah saw. bersabda kepada para pengikutnya, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”, yaitu jihad melawan nafsu dan syahwat. Itulah makna kalimat tauhid. Dalam hadis lainnya Rasulullah bersabda, “Musuh terbesar kalian berada di bawah tulang rusuk kalian.” Cinta Ilahi takkan hidup memenuhi hatimu kecuali jika sang musuh, yakni nafsu, telah binasa dan meninggalkanmu. Agar cinta Ilahi dapat menempati hatimu, pertama-tama kau harus menyucikan dirimu dari hawa nafsu yang menyuruh seluruh wujudmu kepada kejahatan. Setelah itu kau akan memiliki kesadaran meskipun tak sepenuhnya bersih dari dosa. Kau akan memiliki rasa bersalah. Namun, perasaan itu tidak cukup. Kau harus melewati tangga itu menuju maqam penyingkapan hakikat, baik hakikat kebaikan maupun keburukan. Setelah itu, kau akan berhenti melakukan maksiat untuk hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian, kau telah menyucikan dirimu. Untuk melawan hawa nafsu, perangilah dulu nafsu hewanimu – sifat rakus, tidur yang berlebihan, kelalaian – dan perangilah sifat hewan buas dalam dirimu: sifat buruk, amarah, keras dan kejam. Lalu jauhkanlah dirimu dari kebiasaan jahat hawa nafsu: bersifat angkuh, sombong, iri, dendam, tamak, dan semua penyakit lahir maupun batin. Dengan menempuh langkah-langkah itu berarti kau telah melakukan pertobatan yang sebenarnya dan telah menyucikan dirimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang yang menyucikan diri (Al Baqarah [2]: 222) Pertobatan tidak membutuhkan penyesalan semu. Sebab, begitu banyak orang yang bertobat namun tobat mereka tidak diterima, sebagaimana firman Allah: Seberapa sering pun mereka bertobat, mereka tidaklah sungguh-sungguh bertobat, dan tobat mereka tidak diterima. Penegasan ini mengacu pada perilaku banyak orang yang sekedar mengungkapkan penyesalan tanpa menyadari kesalahan mereka, dan tidak memiliki tekad yang kuat untuk tidak melakukan dosa lagi, atau bahkan ia tetap saja tenggelam dalam lumpur dosa. Itulah tobat kaum awam, tobat lahiriah, yang sama sekali tidak berpengaruh pada penyebab dosa. Mereka laksana orang yang ingin menghilangkan rumput dengan memotongnya, bukan mencabut akarnya. Cara itu hanya semakin menyuburkan rumput. Orang yang bertobat seraya menyadari kesalahannya dan penyebabnya adalah seperti orang yang mencabut rumput itu hingga ke akar-akarnya. Alat yang digunakan untuk mencabut rumput itu adalah ajaran ruhani yang diterimanya dari guru sejati. Seseorang harus membersihkan tanah sebelum menanami ladang. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir (QS Al Hasyr [59]: 21) Kecuali orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, kejahatan mereka akan diganti oleh Allah dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al Furqaan [25]: 70) Ketahuilah, salah satu tanda diterimanya taubat adalah ketika seseorang tidak legi melakukan dosa yang sama sepanjang hidupnya. Tobat terbagi dalam dua macam, yaitu tobat orang awan dan tobat orang mukmin yang ikhlas. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan menuju ketaatan dengan cara mengingat Allah serta berusaha keras meninggalkan hawa nafsu dan menaklukkan hasrat. Ia harus melawan nafsu yang selalu memberontak terhadap ajaran-ajaran Allah. Itulah tobat kaum awam, yang mungkin dapat menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke surga. Tobat seorang mukmin yang ikhlas, hamba sejati Allah, jauh berbeda. Mereka telah mencapai maqam makrifat, yang jauh lebih mulia daripada keadaan terbaik seorang awam. Sebenarnya, tidak ada lagi anak tangga yang bisa mereka naiki, karena mereka telah mencapai kedekatan kepada Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan duniawi dan tengah merasakan kelezatan alam ruhani – nikmat kedekatan dan keintiman dengan Allah, kenikmatan menatap zat-Nya dengan mata kebahagiaan. Pemahaman kaum awam bersifat duniawi. Kesenangan mereka terletak pada kenikmatan lahiriah. Sekalipun manusia secara lahiriah dan semesta lahiriah pada hakikatnya merupakan realitas semu yang menyesatkan, kenikmatan itu merupakan kenikmatan terbaik yang dapat mereka rasakan. Ini sesuai dengan ujaran yang menyatakan bahwa “Keberadaanmu adalah dosa besar, begitu besarnya sehingga dosa-dosa lain menjadi kecil.” Orang bijak sering mengatakan bahwa amal baik seseorang yang tidak mencapai tingkat kedekatan kepada Allah tidaklah lebih baik daripada kesalahan orang yang dekat kepada-Nya. Karena itu, Rasulullah saw., panutan kita dan orang yang suci dari dosa, mengajari kita cara memohon ampunan atas dosa-dosa tersembunyi yang selama ini kita anggap sebagai amal saleh. Bahkan ia sendiri memohon ampunan sebanyak seratus kali dalam sehari. Allah SWT. memerintahkan Rasulullah untuk memohon ampunan atas dosa-dosamu dan untuk orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan. (QS Muhammad [47]: 19). Ia adalah nabi yang menjadi teladan bagi kita dalam pertobatan. Ia mengajari kita untuk memohon kepada Allah agar Dia menghapuskan hawa nafsu, keegoan dan semua sifat buruk kita. Inilah tobat sejati. Menyesal berarti meninggalkan segala sesuatu kecuali zat Allah, dan ingin kembali kepada-Nya, kembali kepada tanah air kedekatan kepada-Nya, serta melihat wajah-Nya. Rasulullah saw. menjelaskan penyesalan semacam itu melalui sabdanya, “Ada hamba sejati Allah yang jasad mereka di sini namun hati mereka berada tepat di bawah Arsy Allah.” Hati mereka berada di langit kesembilan, di bawah Arsy. Itulah tingkatan terbaik yang dapat dicapai seorang hamba, karena di dunia yang hina ini mustahil seseorang dapat melihat zat-Nya. Di dunia ini, yang dapat dilihat hanyalah manifestasi sifat-sifat ketuhanan-Nya, yang dipantulkan pada cermin suci hati yang ikhlas. Ini sesuai dengan ucapan Sayidina Umar r.a., “ Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku.” Hati yang suci merupakan cermin tempat keindahan, karunia dan kesempurnaan Allah dipantulkan. Keadaan ini kadang-kadang juga disebut “wahyu”, yakni penyampaian sifat-sifat Tuhan. Untuk mencapai tingkatan itu, serta untuk membersihkan dan menerangi hati, dibutuhkan seorang guru yang telah matang, yang telah mencapai maqam penyatuan dengan Allah, dan yang dimuliakan oleh semua orang, di masa lalu maupun sekarang. Ia telah mencapai maqam kedekatan kepada Allah dan telah diutus kembali oleh Allah ke dunia ini untuk menyempurnakan orang-orang yang berhak namun belum berhasil. Untuk menjalankan tugas suci ini para wali Allah itu harus mengikuti jalan Rasulullah saw. dan meneladaninya meskipun tugas mereka berbeda dengan tugas para nabi a.s. Jika para nabi diutus untuk menyelamatkan kaum awam sekaligus kaum mukmin yang ikhlas, para wali diutus hanya kepada sekelompok orang, bukan kepada semua orang. Jika para nabi diberi kebebasan utuh dalam mengemban tugas, para wali harus mengikuti jalan dan teladan Nabi saw. Bahkan, jika ada seorang guru yang mengaku telah diberi kebebasan dan menganggap dirinya sama dengan seorang nabi, berarti ia kafir. Sabda Rasulullah saw. bahwa para sahabatnya yang saleh laksana para nabi di kalangan Bani Israil harus dipahami secara berbeda. Ketahuilah, para nabi yang datang setelah Musa a.s. semuanya mengikuti ajaran Musa a.s. tidak membawa ajaran baru. Mereka mengikuti hukum yang sama. Begitu pula para saleh di kalangan umat Muhammad saw. Mereka bertugas untuk mengajari manusia untuk bersikap ikhlas dan mengikuti ajaran Rasulullah saw. Meskipun dengan cara dan ketentuan yang mungkin baru dan berbeda. Hukum yang diajarkan mesti mengacu kepada hukum Rasulullah saw. seraya menjadi teladan bagi murid-murid mereka dalam amal saleh dan kebaikan. Mereka mendorong murid-murid mereka untuk mengamalkan ajaran agama serta menunjukkan kebahagiaan dan keindahannya. Tugas utama mereka adalah membimbing para pengikut mereka untuk menyucikan hati, yang merupakan tempat untuk membangun monumen ilmu. Dalam menjalankan tugas tersebut mereka meneladani murid-murid Rasulullah saw. yang disebut Ahlu Shufah, yang telah meninggalkan kesenangan duniawi demi keridhaan dan kedekatan kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka menyampaikan kabar persis seperti yang mereka terima langsung dari mulut Rasulullah saw. Saking dekatnya kepada Rasulullah saw. mereka mencapai tingkatan ruhani yang tinggi sehingga dapat berbincang mengenai rahasia mi’raj Nabi saw. bahkan sebelum beliau mengungkapkan rahasia ini kepada para sahabatnya. Kedekatan mereka kepada Rasulullah serupa dengan kedekatan Rasulullah kepada Allah SWT; mereka memegag teguh amanat berupa ilmu Allah yang dianugerahkan kepada mereka. Mereka adalah pengemban sebagian tugas kenabian, dan batin mereka aman sentosa di bawah perlindungan langsung Rasulullah saw. Tidak semua orang berilmu dapat mencapai tingkatan itu. Orang yang telah mencapainya lebih dekat kepada Rasulullah saw. daripada kepada anak-anak dan istri mereka sendiri. Mereka menjadi anak-anak ruhani Rasulullah saw. Mereka adalah pewaris sejati Rasulullah saw. Putra sejati mewarisi hakikat dan rahasia ayahnya, baik dalam wujud lahir maupun wujud batinnya. Rasulullah saw. menyebutkan rahasia ini sebagai “…ilmu khusus laksana harta tersembunyi yang hanya dapat ditemukan oleh orang yang mengenal zat Allah. Tetapi, ketika rahasia itu diungkapkan, orang yang sadar dan ikhlas tak ada yang mengingkarinya.” Ilmu itu diberikan kepada Rasulullah saw. pada malam Isra dan Mi’raj. Rahasia itu tersembunyi pada dirinya di balik 30 tabir. Ia tidak membukanya kecuali kepada para murid yang paling dekat kepadanya. Islam akan kokoh hingga hari kiamat berkat keberkahan dan rahmat rahasia ini. Seseorang dapat mencapai rahasia tersebut dengan pengetahuan batin mengenai apa yang tersembunyi. Berbagai macam ilmu lainnya, begitu pula seni dan keterampilan duniawi hanyalah bungkus bagi ilmu batin itu. Meski demikian, orang yang menguasai ilmu-ilmu “bungkus” itu boleh berharap bahwa suatu hari ia akan mendapatkan isinya. Sebagian mereka hanya mengetahui apa yang wajib dimiliki manusia dan sebagian lainnya hanya mengetahui apa yang dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Kendati demikian, ada juga di antara mereka yang menyeru manusia kepada Allah dengan nasihat yang baik. Dari kelompok terakhir itu ada yang mengikuti jalan Nabi Muhammad saw. dan dibimbing memasuki pintu ilmu, yaitu Hadhrah Ali r.a. – pintu bagi orang-orang yang diundang oleh Allah SWT: Seluruh (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS An Nahl [16]: 125) Ada kesamaan antara ucapan dan maksud batin mereka. Perbedaan hanya terjadi pada hal-hal kecil dan cara pengungkapannya. Sebenarnya, ada tiga makna yang dapat ditarik dari ayat tersebut, yang juga merupakan tiga cara pencapaian ilmu – yang diamalkan secara berbeda, namun semuanya menyatu dalam hadis Rasulullah saw. Ilmu dibagi ke dalam tiga bagian, sebab tak seorang pun yang dapat mengemban, apalagi mengamalkan seluruh isi ilmu itu. Bagian pertama terkandung pada penggalan ayat: serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah. Bagian ini berhubungan dengan makrifat, hakikat, dan awal segala sesuatu. Pemiliknya harus, mengikuti teladan Rasulullah saw., mengamalkan ilmunya. Bagian ini hanya diberikan kepada orang yang jujur dan berani, pejuang ruhani yang akan membela kedudukannya dan berjihad menjaga ilmu itu. Rasulullah saw. menjelaskan keadaan kelompok ini dalam sabdanya: “Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan orang yang jujur dapat menguncangkan gunung.” Kata ‘gunung’ dalam hadis itu berarti beratnya hati sebagian orang. Doa mereka akan dikabulkan. Apa pun yang mereka inginkan, akan terjadi; jika mereka menghendaki musnahnya sesuatu, ia akan musnah. Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dikaruniai hikmah maka dia telah dikaruniai kebaikan yang banyak (QS Al Baqarah [2]: 269) Bagian kedua adalah ilmu lahir yang disebutkan dalam Alquran sebagai ‘dakwah yang baik’. Inilah bungkus makrifat. Orang yang menguasainya menyerukan kebaikan, mengajarkan amal baik, dan menjauhkan manusia dari segala larangan Allah. Orang yang berilmu akan menyeru dengan baik dan santun, sedangkan orang bodoh mengajar dengan kasar dan amarah. Bagian ketiga berkaitan dengan penataan urusan duniawi manusia. Itulah kulit ilmu agama, yakni bungkus makrifat. Bagian ini diperuntukkan bagi orang-orang yang mengatur manusia: keadilan atas manusia serta pemerintahan manusia atas manusia. Bagian akhir ayat itu menjelaskan tugas mereka: dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Orang yang termasuk kelompok ini merupakan manifestasi sifat Allah al-Qahhaar, Yang Mahaperkasa. Tugas mereka adalah memelihara ketertiban di tengah manusia sesuai dengan hukum Allah. Ilmu bagian ketiga ini melindungi ilmu lahir, seperti bungkus melindungi kulit. Ilmu lahir, yang merupakan kulit, melindungi isinya, yaitu ilmu batin – hakikat ilmu dan benih sumber kehidupan. Rasulullah saw. memberi nasihat, “Sering-seringlah menyerai orang bijak dan taatilah pemimpinmu yang adil. Allah SWT menghidupkan hati yang mati dengan ilmu sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan tumbuhan melalui hujan yang diturunkan-Nya.” Ia juga bersabda”Ilmu adalah harta yang hilang bagi orang yang beriman. Ia akan mengambilnya di mana saja ia temukan.” Bahkan, kata-kata kaum awam turun dari Lauh Mahfuzh. Takdir yang meliputi semua kejadian sejak permulaan hingga akhir. Lauh itu dijaga di alam akal kausal. Namun, kata-kata diucapkan sesuai dengan derajat seseorang. Kata-kata orang yang telah mencapai tingkatan hakikat bersumber langsung dari alam tinggi itu, alam kedekatan dengan Allah, tanpa perantara. Ketahuilah, semua kehendak kembali kepada sumbernya. Hati, sang hakikat, harus dibangkitkan, dihidupkan untuk menemukan jalan kembali kepada sumber Ilahinya. Ia harus mendengarkan seruan. Setiap orang harus menemukan seseorang yang menyampaikan seruan itu kepadanya. Dialah guru sejati. Ini merupakan fardhu ‘ain, kewajiban individual, sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim, laki-laki maupun perempuan.” Ilmu itu adalah tingkatan ilmu yang tertinggi, makrifat, yang akan membawa seseorang menuju sumbernya, yaitu hakikat. Ilmu lainnya hanya diperlukan sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, untuk kepentingan nafsu, manusia memerlukan ilmu duniawi. Allah meridhai orang yang meninggalkan hasrat duniawi, karena semua kenikmatan dunia merupakan perintang dalam perjalanan seseorang menuju Allah. Katakanlah, “Aku tidak meminta sesuatu pun kepadamu atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS Asy Syuraa [42]: 23) [[] (Syaikh Abdul Qadir Jailani)